33. HUJAN DAN SENJA

1.1K 47 20
                                    

~
Jika rindu itu nyata, bisakah rindu menjadikanmu ada?

Berulang kali aku mendengarnya dari orang - orang yang menganggapmu tiada. Seolah mereka mengerti semua tentangmu melebihi aku.

Kau ada, dan itu nyata

Iya...

Dihatiku selamanya
~
#Seperti biasa play musik sebelum baca yah...

Hujan dan Senja. Perpaduan yang tepat, bagai suratan yang telah dikirimkan Tuhan untuk mengiringi kedatangan juga kepergian seseorang yang begitu mengaguminya.

Gemericik air hujan bersatu padu dengan suara guntur yang lirih, menjadi sebuah irama pilu yang menyayat hati. Guratan air terlihat jelas melukis daun jendela sebuah ruangan sore itu.

Alvano mematung menatap keluar jendela dengan selembar kertas putih yang mulai basah akibat air netranya yang terus luruh.
Tidak ada isak, sesak di dadanya juga tak lagi terasa, Alvano lebih tenang dari sebelumnya. Hanya saja air matanya terus meluruh tanpa ia pinta.

Hujan, senja, dan Maura. Alvano melihat Maura tertawa dan menari di bawah hujan seperti biasanya, Mauranya sangat menyukai hujan.

Semburat jingga tergambar indah dilangit yang mulai meredup. Sendu. Alvano kembali melihat binar mata Maura menatap senja yang memantulkan cahaya jingga di wajah cantiknya, kali ini Alvano melihat Maura tersenyum ke arahnya.

Semua hal yang terlihat, mengingatkannya akan kehadiran Maura. Seolah Maura masih berada disisinya.

Senyuman indah yang akan selalu ia rindukan seumur hidupnya.

Jika cinta tidak harus memiliki, bisakah kali ini Alvano mendapat pengecualian untuk memiliki cintanya? Bisakah Alvano mendapatkan cintanya kembali? Bisakah Alvano hidup bersama cintanya? Atau setidaknya bisakah Alvano pergi bersama cintanya? Kali ini saja.

“Van, loe disuruh ke ruang bayi, ada berkas yang harus loe isi” kata Gensa lirih. Alvano bergeming membelakangi Gensa yang masih mematung dibelakangnya.

Perlahan Gensa melangkahkan kakinya mendekat “Loe kuat, Van. Gue tahu ini sulit buat loe, buat kita semua. Tapi gue tahu loe kuat, gue cuma mau loe tahu, kalau loe lebih kuat dari yang loe kira. Loe bisa lewati semua ini. Gue yakin loe bisa” ujarnya sebelum menyisakan Alvano sendiri yang hingga kini masih menatap keluar jendela.

“Loe salah, sayangnya gue gak sekuat yang loe kira.”cicitnya lirih beriringan dengan air matanya yang kembali meluruh.

Alvano menatap kertas yang ada di tangannya, memeluknya erat, melipatnya rapih sebelum memasukkannya ke dalam sakunya. Kemudian beranjak menuju ruang bayi seperti yang dikatakan Gensa.

***

Alvano melihat keluarganya berkerumun memenuhi pembatas kaca tembus pandang yang sangat besar di ruang bayi. Alvano masuk ke ruangan tanpa menghiraukan pasang mata yang menatapnya sendu.

Baru satu langkah ia masuk, langkahnya terhenti, ia tidak bisa, ia tidak sanggup melihatnya. Tubuhnya terasa lemas, begitu lemas hingga tidak dapat melanjutkan langkahnya.

Bersamaan dengan itu, sigap menyadari keraguan dalam diri putranya, Rianti memutuskan untuk masuk menyusulnya, mencengkram lengan Alvano, memapahnya melanjutkan langkah yang sempat terhenti.

WEKKERWhere stories live. Discover now