IX

19.3K 1.7K 2
                                    

Cedric menyipitkan matanya. Dari kejauhan terlihat seorang wanita yang sedang mendorong troli di tengah lorong. Wajahnya terlihat familier dari kejauhan. Namun pria itu mencoba memastikan penglihatannya kembali.

"Eria?" ucap Cedric spontan ketika jarak mereka mulai berdekatan.

Gadis muda itu menoleh ke sumber suara, langkahnya berhenti bersamaan dengan roda troli yang ikut berhenti. Eria membungkukkan badannya sedikit seolah memberi hormat.

"Ke mana kau akan pergi?"

"Saya pergi mengantarkan makan malam untuk yang mulia Duchess," tutur Eria pada Cedric.

Cedric segera mengambil alih troli makanan dari tangan Eria, "biarkan aku membantu," tawar Cedric.

Eria diam membiarkan trolinya di ambil alih oleh Cedric. Keduanya melanjutkan perjalanan disertai Eria yang berjalan beriringan di samping Cedric.

"Mengapa yang mulia Duchess makan malam begitu terlambat?"

Eria diam, otaknya sedang menyusun kalimat apa yang akan diucapkan. Ia tidak tahu apakah diizinkan untuk bercerita mengenai masalah nyonya kepada orang lain. "Sebenarnya kepala pelayan Tronfo tidak terlalu memperhatikan yang mulia Duchess."

"Mengapa?" tanya Cedric masih mendengarkan Eria dengan saksama lantaran tak ingin ada informasi yang terlewatkan.

"Saya tidak tahu tetapi kepala pelayan Tronfo seperti tidak menyukai kehadiran yang mulia Duchess. Sebelumnya kepala pelayan Tronfo juga bersikap sangat tidak sopan..." cicit Eria mencoba berhenti bercerita dengan suara yang kian mengecil.

Alisnya terangkat. Cedric kini beradu dengan pikirannya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kepala pelayan Tronfo merupakan orang yang terang-terangan. Dan Cedric cukup mengenal  kepala pelayan tersebut. Namun ia tidak mengira bahwa wanita tua itu sampai berani menunjukkan rasa tidak sukanya secara langsung. Terlebih kepada Duchess yang merupakan istri dari tuannya.

"Tuan Cedric? Anda tidak apa-apa? Anda terlihat melamun," tanya Eria dengan nada polos.

"Ah tidak. Aku akan membantumu mengantar sampai ke kamar yang mulia Duchess."

"Terima kasih." Eria berucap lalu kembali menatap jalannya.

"Eria, sebenarnya ada hal lain yang ingin kubicarakan," gumam Cedric dengan tangan yang masih sibuk mendorong troli.

Eria menatap Cedric, gadis itu menunggu kelanjutan kalimat pria di sampingnya.

Cedric tersenyum menatap jalanan di depannya sampai akhirnya membuka suara, "beberapa hari lagi akan ada pesta perayaan di tengah kota. Dan aku berharap kita bisa pergi bersama."

Suasana tiba-tiba menjadi hening, kini hanya terdengar suara roda troli yang menggema di sepanjang lorong. Eria masih memilih diam dan tak menjawab ajakan Cedric.

"Tuan Cedric saya tidak pernah datang ke pesta, dan.. tidak bisa berdansa. Saya juga tidak memiliki pakaian yang layak untuk menghadirinya." Tolak Eria tanpa berpikir kembali.

Cedric tersenyum ketika Eria mengeluarkan keluhannya. "Pesta tersebut adalah perayaan yang dihadiri oleh rakyat biasa. Siapa pun bisa bersenang-senang. Akan ada banyak pedagang yang menjual makanan, minuman, dan banyak pertunjukan," jelas Cedric mencoba meyakinkan Eria.

"Pesta perayaan yang sangat sayang jika dilewatkan," lanjut Cedric menambahi.

Eria masih berjalan di samping Cedric, hatinya sedikit bimbang. Dia ingin sekali menerima tawaran dari pria ini. Namun sebentar lagi dia akan membantu sang Duchess untuk menyiapkan pesta teh pertamanya di kediaman.

"Mungkin saya bisa, tetapi saya harus membantu yang mulia Duchess menyiapkan segala hal untuk pesta teh yang akan diadakan minggu depan."

"Pestanya diadakan tiap minggu. Jika kau luang katakan saja"

"Saya tidak begitu yakin," cicit Eria yang hampir tidak di dengar oleh Cedric.

Langkah keduanya mulai melambat ketika berbelok. Pintu kamar Duchess tampak tertutup. Cedric mengetuk pintu kayu tersebut beberapa kali. Hingga terdengar suara benda jatuh.

Suara yang terdengar dari dalam kamar membuat Cedric menajamkan pendengaran dan mendekatkan telinganya ke arah pintu, namun nihil tidak terdengar suara apa pun lagi. Pria itu melirik ke arah Eria yang masih berdiri sedikit jauh di belakangnya sambil menatap.

"Ada apa tuan Cedric? Kenapa tidak mengetuk pintunya lagi?"

"Ah Eria, ku pikir kita letakkan saja troli ini di depan pintu. Aku baru ingat jika yang mulia Duke sedang mengunjungi yang mulia Duchess."

"Begitukah? Tetapi tuan Cedric tolong katakan jika saya membawa makanan untuknya, jika tidak saya takut nyonya tidak menyadari makanan yang saya bawa."

"Baik akan kucoba."

Cedric menelan salivanya, dalam hati pria itu berdoa semoga dirinya masih diberi keselamatan oleh para dewa.

Tok tok tok

Tidak ada jawaban, pria tersebut melirik ke arah Eria yang masih setia menunggu di belakangnya.

"Eria, lebih baik letakkan saja makanannya di depan pintu. Mungkin tuan Duke dan Duchess masih berbicara."

Eria mengangguk perlahan. Selesai berbicara Cedric langsung menarik tangan Eria pergi.

"Tuan Cedric mengapa Anda begitu terburu-buru. Saya masih harus menunggu di depan pintu. Nyonya belum membukakan pintu saya khawatir nyonya tidak mendengar," ucap Eria ketika tangannya ditarik pergi oleh Cedric.

"Eria, kau tidak akan mengerti."

- - - - - - - -

Makasii ya yang udah baca ✨✨

The Cruel Duke and DuchessWhere stories live. Discover now