XXXXII - Something

2.3K 129 3
                                    

Semenjak perbincangan panas mereka pagi ini. Kave dan Ishvara kini saling bersikap dingin. Dalam beberapa kali pertemuan yang sempat diadakan pada hari ini. Ishvara bahkan hampir tidak sekalipun menunjukkan tanda hormatnya. Wanita itu hanya diam ketika beberapa rekan kerjanya memberikan salam dan membungkukkan tubuh ke arah Kave yang merupakan salah satu supervisor.

Meskipun Kave menyandang posisi yang bisa dibilang jauh di atasnya. Sedangkan Ishvara hanya staff biasa. Namun hal itu tidak membuat nyalinya ciut. Begitupun Kave yang menyadari sikap Ishvara, yang berubah bahkan dikatakan tidak ada rasa hormat kepadanya. Seolah wanita itu meninggalkan peran profesionalnya dalam bekerja.

Sangat berbanding terbalik dengan sikap mereka kemarin malam. Ketika keduanya sama-sama saling berbagi kehangatan dan kenyamanan. Namun kini suasana berubah 180 derajat. Kave tidak menyangka bahwa Ishvara benar-benar marah padanya karena beberapa hal yang ia cari tahu mengenai tuan Wylian.

Sikap Ishvara terlihat begitu jelas seolah mencampakkan dan tidak menganggap kehadiran Kave. Bahkan selama beberapa pertemuan berlangsung. Ishvara sama sekali tidak menanggapi Kave yang memimpin rapat. Wanita itu hanya diam tanpa suara. Ishvara lebih memilih menjawab dan menanggapi pernyataan rekan kerjanya yang lain daripada harus ikut berbaur dalam obrolan yang melibatkan dirinya dengan Kave.

Jarum jam berputar begitu cepat. Tanpa terasa tiba-tiba hari sudah berubah menjadi sore. Ishvara meregangkan tubuhnya yang kaku karena duduk selama berjam-jam. Rasa bosan menyelimutinya. Satu tangannya menumpu kepalanya yang terasa berat namun dengan pandangan yang masih fokus pada layar monitor di depannya.

Ishvara merasakan tubuhnya di peluk dari belakang. Aroma manis seketika masuk ke indera penciumannya membuat Ishvara tersenyum.

"Iris, ada apa?" tanya Ishvara tanpa mengangkat kepalanya. Jari tangannya sibuk mengetik.

"Temani aku minum malam ini? Bagaimana?" ajak Iris pada Ishvara.

Ishvara memutar matanya jengah. Wanita itu pun kini membalikkan badannya menghadap Iris. Tatapan mata serius terpancar dari Ishvara menunjukkan bahwa wanita itu sedikit tidak setuju.

"Iris, kau baru saja tiba dari perjalanan bisnis. Seharusnya gunakan waktumu untuk istirahat."

Namun bukannya setuju wanita bernama Iris tersebut malah merajuk berusaha membujuk agar sahabatnya itu juga ikut serta.

"Ishvara, ayolah. Aku tidak mengajak siapapun. Hanya Kave, aku dan kau saja. Aku yang akan membayar semuanya bagaimana?" tawar Iris masih belum menyerah.

"Lalu? ketika kau mabuk salah satu di antara kami harus mengangkat dirimu kembali?"

Mengetahui bujukannya tidak mempan Iris hanya menurunkan bibirnya kecewa. Wanita dengan tampilan rapi itu kini terlihat seperti anak kecil yang merajuk dan membujuk orang tuanya untuk bisa bermain.

"Ishvara, aku tau bahwa kau memiliki beberapa rahasia dengan Kave."

"Darimana kau tau?"

"Ada banyak mata dan telinga di sini. Siapa yang tidak curiga jika kakakku itu menyeretmu menuju tempat sepi. Hanya untuk berbicara padahal kalian jarang bersinggungan langsung selama bekerja."

"Memangnya harus bagaimana? Apa kami tidak boleh berbicara?"

Iris berdecak sebal mendengar jawaban dari sahabatnya." Baik, tidak masalah jika kau tidak ingin ikut serta ataupun bercerita. Aku bisa saja menanyakan hal ini kepadanya."

Bukannya merasa tersinggung Ishvara justru tidak terlalu peduli dengan ancaman Iris padanya. "Tanyakan saja. Kau juga tidak akan percaya. Dia tidak akan menceritakan yang sebenarnya."

Lagipula Ishvara yakin bahwa Kave, pria tersebut tidak akan menceritakan yang sebenarnya mengenai hubungan mereka.

Hubungan keduanya terlalu sulit untuk dijelaskan. Bahkan jikapun Kave menjelaskan secara jujur mengenai hubungan mereka. Iris juga tidak akan mempercayainya begitu saja. Yang mereka berdua alami terlalu mustahil untuk dikatakan.

"Sebenarnya apa yang terjadi sampai Kave mengajakmu berbicara empat mata?" tanya Iris yang mulai mengorek informasi.

Ishvara berdeham ringan sebelum menjawab. "Hanya soal Aluna, bukankah sebelumnya aku dan dia bagaikan rival. Aku hanya menjelaskan itu."

"Hey, benar juga. Terakhir kali kalian tidak bisa disatukan. Tetapi kenapa dia membantumu tadi?" Iris yang baru saja menyadari hal itu pun kini tanpa sengaja mengalihkan topik pembicaraan mereka.

Ishvara yang sadar Iris mulai sedikit teralihkan pun tersenyum sedikit menertawai sahabatnya itu. "Hanya ada sedikit kesalahpahaman di masa lalu. Kini sudah ku selesaikan. Bukan hal yang besar."

Mendengar penjelasan tersebut pun Iris hanya mengangguk paham. "Ishvara, jangan mencoba mengalihkan topik. Apa hanya itu? Kave bukan orang yang suka ikut campur terhadap urusan orang lain."

Iris mengetahui sifat Kave. Pernah suatu ketika Iris menjemput kakaknya itu di bandara. Ada sedikit keributan. Bahkan dua orang bertengkar tepat di depan kakaknya itu. Tetapi apa? bukannya melerai Kave justru hanya berjalan melewati mereka tanpa menoleh sedikitpun.

Bagaimana mungkin kakaknya kini begitu perhatian padahal Ishvara juga bukan orang yang dia kenal sejak lama. Atau mungkinkah karena Ishvara merupakan sahabatnya? Iris menggelengkan kepalanya memikirkan berbagai kemungkinan di otaknya.

"Apa dia menyukai mu?" bisik Iris sambil melirik ke arah sekitarnya memastikan agar tidak ada orang yang mendengar pembicaraan mereka berdua.

"Iris, ada yang memanggilmu!" teriak salah satu staff yang berada di kejauhan ketika melihat Iris tengah berbincang dengan Ishvara.

Iris berdecak kesal untuk kesekian kalinya. Wanita itu melirik Ishvara sejenak dengan mata yang sedikit menyipit. "Sayang sekali aku sibuk kali ini. Tetapi lain kali akan ku cari tahu. Jika pun kalian memiliki hubungan aku tidak akan melarang. Kalau begitu sampai jumpa lagi."

Sebelum pergi Iris menyempatkan diri untuk mengecup singkat pipi kiri Ishvara membuat sang pemilik terkejut. Bekas lipstik terlihat jelas menempel di pipi Ishvara membuat wanita itu melotot tajam ke arah Iris. Sedangkan pelakunya hanya tertawa sambil berlari pergi meninggalkan Ishvara di mejanya.

Mau tidak mau Ishvara mengambil tisu sambil menatap pantulan wajahnya melalui cermin yang berada di meja kerja. Jarinya menempelkan tisu di pipi berusaha membersihkan sisa lipstik Iris yang masih menempel.

Ishvara menggelengkan kepalanya begitu heran dengan sikap Iris. Bagaimana sahabatnya itu masih saja tidak berubah dan selalu kekanak-kanakan. Padahal usianya juga hampir menginjak kepala tiga sepertinya.

Namun pikiran Ishvara kembali melayang. Mengingat tentang Kave. Sebenarnya Ishvara merasa tidak enak dengan pria itu karena bersikap tidak sopan dan mengabaikannya selama beberapa pertemuan yang berlangsung tadi. Dia tidak memiliki niatan berbuat tidak sopan ataupun mengabaikannya.

Namun dirinya terlalu malas untuk berinteraksi secara langsung. Dan entah mengapa hari ini justru malah mereka memiliki beberapa pekerjaan yang mengharuskan bertemu padahal sebelumnya sangat jarang.

Ishvara sebenarnya tidak ingin Kave terlalu ikut campur mengenai urusannya dengan tuan Wylian. Dia tidak ingin menyeret orang lain dalam rencana balas dendamnya ini. Bahkan Samuel yang terlibat pun sebenarnya memaksa untuk membantu Ishvara. Jika tidak maka Ishvara tidak akan membiarkan teman semasa kuliahnya itu turut andil.

Hanya beberapa kejahatan tentang penggelapan dana dan beberapa kejahatan di permukaan saja yang bisa ditemukan Samuel dan Ishvara. Entahlah, tetapi sepertinya perkataan Kave memang ada benarnya bahwa dia harus lebih berhati-hati.

Terutama ketika berurusan dengan tuan Wylian yang masih kelabu tentang rahasia apa saja yang ada di belakangnya.

The Cruel Duke and DuchessWhere stories live. Discover now