XXX - Belief

6.2K 572 9
                                    

"Kakak Max! Lihat apa yang Va bawa!" teriak seorang anak perempuan yang berusia sekitar enam tahun.

Gadis kecil itu berlari sembari meletakkan barang-barang di pelukannya.

Seorang remaja bernama Max yang fokus mengerjakan tugasnya di meja belajar pun menoleh ke arah sang adik. Raut wajahnya berubah ketika melihat beberapa benda asing di tangan adiknya.

"Vaa di mana kamu mengambilnya?" tanya sang kakak yang kini berusia sekitar 14 tahun. Seragam olahraga kini masih melekat di tubuhnya. Wajah remaja laki-laki tersebut menampilkan raut khawatir.

"Va mencali alat tulis untuk kakak.
Va mengambil di kamal Hiela. Dia lebih kecil tapi kenapa dia memiliki banyak balang dalipada kakak Max." Protes gadis kecil itu sembari memajukan bibir mungilnya.

Max yang mendengar protes tersebut hanya tersenyum tipis melihat adiknya. Namun senyuman itu masih tidak bisa menutupi rasa khawatirnya. Tangannya kini mengambil beberapa buah alat tulis yang dicuri oleh sang adik.

"Jangan mencuri Va, lain kali janji. Kakak Max masih bisa menggunakan alat tulis yang lama untuk sekolah," jelas remaja tersebut memberi pemahaman pada sang adik.

Gadis kecil itu kini duduk di lantai kamar. Kedua tangan mungilnya ia lipat di depan dada. Max tahu bahwa adiknya kini tengah merajuk. Remaja tersebut pun turun dari kursinya lalu berjongkok di hadapan adiknya mencoba memberikan penjelasan.

"Va?" Panggilnya namun sang adik masih tak kunjung menoleh ke arahnya.

"Ishvara," Max kini memanggil nama sang adik.

Gadis kecil itu menoleh sambil menatap tak suka. "Paman dan bibi adalah orang baik yang memberi kita tempat tinggal. Jangan membuat masalah. Va bersama kakak saja tidak masalah," jelas remaja tersebut sambil menampakkan senyum lebarnya yang manis.

Gadis kecil itu terdiam sesaat lalu mengangguk ikut tersenyum. Namun pintu kamar mereka kini di dobrak oleh seseorang hingga membuat Ishvara kecil berlari di belakang tubuh sang kakak.

"Di mana dia? Anak yang mencuri barang milik Hiera?!" Teriak nyonya Wylian yang merupakan ibu dari Hiera.

Max berdiri sambil menahan rasa takutnya mencoba untuk berusaha tetap tegak di hadapan Ishvara.

"Benar, Ishvara. Anak nakal itu harus kuberi pelajaran," ucap wanita itu emosi sambil melirik ke arah Ishvara yang bersembunyi di belakang kakaknya.

Baru saja Nyonya Wylian akan melangkah mendekati Ishvara namun Max kini melangkah maju menghadang wanita tersebut untuk mendekati adiknya.

"Bibi tolong jangan sakiti Va. Dia tidak salah. Max yang mengambil barang milik Hiera." Max dengan tubuh bergetar menahan tangisannya berusaha berdiri berani.

"Max? Jadi kau juga nakal seperti adikmu? Sungguh sial aku membawa kalian pulang. Seharusnya kutinggalkan kalian kelaparan di rumah orangtuamu." Nyonya Wylian kini mendekat ke arah Max memutar telinga remaja tersebut sambil mencubit dan menariknya keluar dari kamar.

Gadis kecil tersebut hanya bisa menangis menahan kaki Nyonya Wylian ketika melihat kakaknya kini menjadi sasaran empuknya.

"Bibi jangan pukul kakak Max. Va tidak akan nakal lagi. Kakak Max juga tidak akan nakal lagi," rengeknya sambil memeluk kaki Nyonya Wylian.

***

Ishvara kecil mengerjapkan matanya namun dirinya terkejut ketika menyadari sang kakak tak ada di dekatnya. Terakhir kali dirinya merengek di kaki nyonya Wylian. Namun entah mengapa kini dirinya malah tertidur di kamar.

Gadis kecil tersebut berdiri di atas tempat tidurnya lalu merangkak turun ke bawah lantaran ranjang yang lebih tinggi dari ukuran tubuhnya.

Langkah kecil gadis itu berjalan maju menuju pintu kamar. kakinya kini berjinjit dengan sekuat tenaga. Satu tangannya dia ulurkan ke atas berusaha untuk menggapai gagang pintu.

Pintu tak kunjung terbuka, gagang pintu itu begitu keras hingga membuat telapak tangan Ishvara kecil memerah.

"Kakak Max dimana ..." rengek gadis kecil tersebut sambil terus menggosok matanya.

Mendengar suara yang samar sontak tubuh kecil itu kini terpaku. Gadis itu mendengar suara rintihan dan juga jeritan seseorang yang terdengar cukup jauh. Rasanya telinganya berdengung. Kepalanya terasa pusing. Suara jeritan dan rintihan itu seakan terus berulang. Rasanya sungguh tidak nyaman.

Pandangan gadis kecil itu mengedarkan pandangan ke seluruh kamarnya namun tak ada seorangpun.

Matanya terpejam sambil meringkuk di sudut ruangan. Tubuh kecil itu bergetar hebat. Suara yang dia dengar membuatnya takut. Bagaimana tidak suara tersebut terus meraung seolah begitu tersiksa. Tangan mungil Ishvara menutup kedua telinganya sembari menggelengkan kepala berharap suara rintihan tersebut tak lagi terdengar.

Dirinya begitu takut, air mata terus mengalir melalui pipi tembam gadis kecil tersebut. Keringat dingin terus keluar dari pelipisnya.

"Kakak... "

Ishvara memejamkan matanya mengingat kenangan masa kecilnya di kediaman Wylian. Wanita itu mengangkat sudut bibirnya memaksakan diri untuk tersenyum sembari menegak Wine yang kini memenuhi mejanya.

Tangannya terkepal, napasnya terasa tercekat. Jari-jari lentiknya kini menggenggam shot glass dengan kuat seolah tak ingin melepaskannya. Jika saja gelas tersebut lebih ringkih maka bisa saja kacanya akan hancur di genggamannya.

Telinganya berdenging ketika musik mulai dimainkan. Ishvara menatap sekelilingnya melihat orang-orang yang mulai menari sambil tertawa seolah mereka tidak memiliki beban hidup.

Wanita itu kini menengadahkan kepalanya. Bahkan wine yang selalu menemaninya dikala terpuruk kini bukan lagi obat yang ampuh. Kepalanya masih terasa berdenyut.

Kenangan masa kecilnya kini bercampur dengan mimpi buruk. Ditambah pertemuannya dengan Kave pagi tadi. Mengingat kembali luka yang ada di punggung pria tersebut membuat kepalanya terasa berat.

"Rasanya aku ingin mati."

Salah satu tangan wanita itu menjambak rambutnya yang halus. Rasa nyeri yang ia rasakan kini kian menjalar. Matanya terpejam dengan tubuh yang bersandar pada sandaran sofa.

"Ingin tambah?" tanya sebuah suara yang kini membuat Ishvara menoleh ke arah samping. Pandangannya terasa kabur ditambah rasa nyeri di kepalanya membuat Ishvara sedikit tak kuasa mengangkat kepala.

Kave, ia datang dari arah kanan lalu duduk tepat di sebelahnya. Pria itu mengena kemeja putih dengan lengan yang dilingkis sampai siku.

Penampilannya kini sedikit berantakan daripada yang pernah Ishvara lihat sebelumnya. Namun Ishvara masih tidak yakin dengan penglihatannya.

Lengan kekarnya yang dihiasi oleh jam tangan berwarna silver tersebut menuang sebotol Vodka ke dalam gelas miliknya untuk ikut bergabung bersama Ishvara.

Pria itu menegak minumannya seperti air. Minuman keras itu bagaikan tak ada lagi pengaruhnya. Keduanya kini saling memandangi. Ishvara yang masih tidak percaya dengan siapa yang dia temui. Dan Kave yang entah apa tujuannya bergabung bersama Ishvara.

"Kau ingin mati?" tanyanya. Kave bersandar pada sofa dengan tangan yang terlipat di depan tubuhnya.

"Jangan mati sebelum semuanya selesai."

Untuk kedua kalinya pria itu kembali menegak minuman kerasnya. Sampai saat itu Ishvara hanya diam tanpa menjawab. Bibirnya seperti tidak sanggup untuk berbicara.

The Cruel Duke and DuchessWo Geschichten leben. Entdecke jetzt