18. JANJI GERALD

226 23 0
                                    

"Ada lagi selain di pipi gak? Gak kena pukul tapi kan?" Tanya Gerald lagi kini mengecek tangan, sikut, lutut, bahkan hingga kaki Milea.

"Enggak, Ger, cuma kena tampar doang di pipi, tapi bahu gue tadi juga di dorong sih, cuma gak sampe jatuh kok, jangan terlalu khawatir gitu,"

"Gue lakban mulut lo kalau bilang gitu." Katanya kesal, bagaimana bisa dia tidak khawatir.

Gadis itu hanya tersenyum kecil, menatap Gerald dengan tatapan yang sulit diartikan. Ternyata cowok itu sangat peduli kepadanya, hal itu bisa dilihat dari raut wajahnya yang begitu mencemaskan Milea.

Milea refleks menyingkirkan tangannya saat Gerald hendak melihat lengannya, cowok itu menatapnya curiga. "Kenapa itu lengan lo? Liat sini,"

"Buat apa? Gak ada apa-apa kok,"

"Kalau gak ada apa-apa kenapa gak bolehin gue liat?" Gerald semakin mencurigainya.

"Ya emang gak ada apa-apa, jangan ah!"

Justru Gerald menarik lengannya dan melihatnya secara paksa, betapa terkejutnya dia saat melihat banyak sekali bekas barcode di lengan Milea.

"Sejak kapan lo ngelakuin kayak gini?" Tanyanya menatap tajam wajah gadis itu.

"Dari... SMP." Jawab Milea dengan kepala yang sekarang tertunduk.

Hembusan nafas panjang terdengar dari hidung cowok itu dan ia langsung dibawa ke dalam dekapan hangatnya, Gerald memeluknya erat seakan Milea sedang dalam bahaya sekarang, pelukan dengan sorot mata yang terpancar khawatir.

"Gue denger semua pembicaraan lo sama Bunda kemarin malem di dapur." Katanya membuat Milea kini sedikit tertegun.

"Seberat apapun itu harusnya jangan sampe lo ngelukain diri lo sendiri, lo tau kan hukumnya nyilet tangan kayak gini itu? Kenapa masih lo lakuin? Kalau gue gak liatin lengan lo mungkin lo bakal tetep nyembunyiin ini dari gue ya?"

Gadis itu hanya diam saja.

"Gue kira keadaan rumah lo selama ini baik-baik aja, Ya, tapi ternyata gue salah besar. Waktu SD gue juga masih kecil, jadi gak bisa ngeliat situasi, tapi untung Bunda gue bisa ngeliat situasi."

"Waktu pertama kali lo masuk ke SMA kita juga gue bingung kenapa lo malah nunggu Taksi dan bukannya di anter jemput sama Ortu lo sendiri padahal itu hari pertama lo, tapi ternyata ... Hufftt." Gerald lagi-lagi menghembuskan nafasnya, tak habis pikir dengan kedua Mertuanya.

Masih tetap diam, rupanya Milea tengah menahan tangis. Dia terlalu emosional jika ada seseorang yang membahas tentang Keluarganya dan pasti dia akan langsung menangis saat itu juga.

Setelah beberapa lama terdiam, akhirnya sebuah kalimat keluar dari mulutnya. "Gue benci, gue bener-bener benci banget sama Keluarga gue, Ger, kenapa gue gak pernah di anggep sama mereka dan selalu di perlakukan buruk sama mereka?" Ucapnya dengan suara parau.

"Gue bodoh, gue gak punya bakat, gue gak bisa apa-apa dan gak ada yang bisa di banggain dari gue. Gue selalu iri sama Mela, hidupnya sempurna dan bisa dapetin semua yang gue inginkan, dia juga bisa banggain Keluarga gue dan dapet kasih sayang dari mereka. Semuanya dari mereka buat Mela, hanya Mela, dan Mela satu-satunya."

"Tapi di mata gue lo lebih dari kata sempurna, Milea."

Milea terdiam membisu mendengar tutur kata itu.

"Lo sempurna di mata orang yang tepat. Lo cantik, lo baik, lo pinter, lo sama sekali gak bodoh."

"Lo bukannya gak bisa apa-apa, tapi hanya saja lo belum nemuin bidang yang lo kuasai. Gue masih inget kok, lo suka main volly kan? Dulu setiap pelajaran olahraga lo suka banget sama yang namanya volly dan selalu minta main volly di Guru olahraga kita dulu, bahkan lo juga pernah dapet nilai yang bagus banget waktu praktek volly, dan jadi cewek yang paling pinter main volly di kelas kita dulu, gue masih inget banget." 

LACONIC Where stories live. Discover now