[11] B

23.3K 1.4K 48
                                    

"Pilih!" perintah itu teringiang-ngiang di kepala Sisi. Pilih ... Pilihan yang mana? Apakah ia sudah memilih dengan tepat?

Sisi menggeleng, menutup matanya. Menikmati rasa sakit yang menyebar di parunya. Menusuk seluruh jantungnya. Terasa begitu meremukan, hingga ia kesulitan bernapas.

Semuanya akan baik-baik saja. Entah berapa ratus kali Sisi mengulang-ulang kata-kata itu. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa pilihannya sudah benar. Keluarganya atau hatinya. Jika hanya satu yang bisa Sisi pertahankan. Maka itulah pilihannya.

Sisi menjerit kaget saat seseorang menariknya menuju sebuah ruang kecil. Laki-laki itu menyeringai, memperlihatkan dua buah buku bertuliskan passport yang berisi namanya dan nama Agatha.

Bola mata Sisi melebar, "Apa yang..." ia tidak bisa menyelesaikan kata-katanya saat bibirnya dibekap. Laki-laki itu menempatkan telunjuknya pada bibir Sisi. Meminta gadis itu untuk diam.

"Ini aku," Abisena berkata pelan.

"Bagaimana kau bisa ada disini?" tanya Sisi kaget.

"Aku, Agni, Bian dan Raza datang untuk menyelamatkanmu. Apa mereka mengeluarkan chip itu dari tubuhmu? Aku tidak sengaja menemukan passport kalian bersamaan dengan chip itu di laci sebuah kamar," penjelasan Abisena bukannya membuat Sisi tenang. Tubuh gadis itu bergetar hebat, jadi benar laki-laki berseragam sama dengan Abisena adalah Agni. Bagaimana kalau ia ketahuan? Apa yang akan terjadi pada kedua orang tuanya?

"Agni sudah menemukan tempat keluar, Raza sudah menghubungi Bian agar membawa Agatha. Kita harus pergi secepatnya dari sini." ajak Abisena.

"Tidak! Tidak kumohon," Sisi memberontak ketakutan saat Abisena menarik tangannya. Bagaimana jika Agni dan temannya bisa mengenali Sisi? Apa yang harus ia lakukan?

"Aku ... aku harus mengganti pakaianku Abi, mereka yang memberiku kostum ini. Kalau aku pergi masih dengan mengenakan kostum ini, mereka akan tetap mengenaliku," Sisi mencoba mencari alasan. Benar, ia hanya harus mengganti bajunya agar Agni tidak bisa mengenalinya.

Setelah itu ia akan aman, Agni tidak akan curiga dan Sisi bisa menjebak mereka menuju gudang yang diperintahkan Windu. Gudang yang setiap sudutnya sudah dipasangkan bom.

Sisi tidak boleh dilema, ia sudah memilih. Maka jalan satu-satunya adalah menjalani pilihan tersebut sebaik mungkin.

-----

Agatha mengerjapkan matanya berkali-laki saat merasakan tetesan air diwajahnya. "Hujan?" gumamnya.

"Iya hujan," jawab Bian tegas, Agatha menjerit kaget. Kaget? Sepertinya tidak, wajah memerah yang coba ia sembunyikan menunjukan bahwa ia mengingat setiap detik kebersamaannya dengan Bian kemarin malam.

Agatha merutuki film-film yang telah mencuci otaknya, membuatnya percaya bahwa apapun yang dilakukan saat mabuk tidak akan ia ingat. Lalu ini apa? Ia bisa mengingat dengan jelas tingkah liarnya. Merobek baju Bian, menarik laki-laki itu kebawah, menduduki perut dan mencumbuinya tanpa lelah.

Agatha menggelengkan kepalanya berusaha melupakan kejadian tadi. Semakin besar keinginannya untuk melupakan, semakin jelas kilas balik kejadian itu terputar di kepalanya.

"Kau puas?" tanya Bian tiba-tiba.

"P-puas apa?" Agatha menjawab tanpa menyadari suaranya agak tinggi.

"Telah memperkosaku,"

"Aku tidak memperkosamu!"

"Iya, kau memperkosaku!"

"Tidak ada buktinya aku telah memperkosamu!"

"Lihat leherku Agatha. Lihat bukti-bukti ini," Bian menunjuk lehernya yang dipenuhi kiss mark dan beberapa cakaran di bahu dan punggungnya. Agatha menjerit tertahan. Percampuran antara ngeri dan malu, menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Stuck On You [COMPLETED]Where stories live. Discover now