[11] C

19.8K 1.3K 20
                                    

"Sisi," panggil Abisena. Sekarang mereka sedang beristirahat dilantai dua sebuah gudang. Agatha sudah terlelap dalam pelukan Agni begitupula Raza yang meringkuk memeluk Bian.

"Kau tidak tidur?" Abisena duduk disebelah Sisi. Ikut memerhatikan keindahan langit malam Hongkong. Bintang-bintang bertaburan di langit yang begitu legam. Sangat indah, membuat siapapun yang melihat terpana. Begitu pula Sisi.

Namun tidak sama halnya dengan Abisena, laki-laki itu lebih memilih menatap wanita yang duduk disebelahnya wajah gadis itu bersinar diterangi oleh bulan malam. Cantik...

Kata itu bahkan tidak cukup untuk menggambarkan keindahan gadis disebelahnya itu. Kemana saja ia selama ini? Mengapa baru sekarang ia menyadari keindahan berlian dalam kubangan lumpur ini?

Sisi menggeleng menjawab pertanyaan Abisena. Rasa bersalah membuatnya tidak mampu menatap laki-laki pemilik hatinya.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Abisena lagi.

"Hanya memikirkan masalalu. Apa yang telah aku perbuat dimasa itu sehingga aku dihadapkan dalam pilihan yang begitu rumit,"

"Pilihan apa?" tanya Abisena bingung.

Mata laki-laki itu tidak mau lepas dari raut lelah Sisi. Bermenit-menit berlalu tapi tidak sedetikpun ia merasa bosan. Alih-alih seperti itu, Abisena malah ingin lagi dan lagi memperhatikannya. Menyerap seluruh permukaan wajah gadis itu dalam ingatannya.

Abisena terpaku, terpesona dalam lingkaran daya tarik Sisi. Daya tarik yang sangat tipis, sehingga tidak seorangpun menyadari bahwa medan magnet itu hanya bekerja jika mereka memang berniat dengan sungguh-sungguh untuk mendekati gadis itu.

Seperti saat ini, saat dimana ia menanti dengan serius jawaban Sisi akan pertanyaannya. Pertanyaan yang bahkan ia sendiri telah lupa apa.

"Abi," panggilan Sisi membuat Abisena terpaksa berhenti menatap wajah gadis itu, mengalihkan tatapannya kemanik legam indah itu.

"Ya?" jawab Abisena serak. Hormon sialan!

"Jika suatu saat nanti kau jatuh cinta. Sangat-sangat mencintai orang itu, bahkan melebihi rasa cintamu pada dirimu sendiri..."

"Ya?" jawab Abisena ketika Sisi tiba-tiba berhenti bicara. Sesungguhnya ia sangat bangga terhadap dirinya sendiri yang mampu mengeluarkan suara dengan nada biasa. Padahal jika bisa jujur, batinnya berkecamuk kesal. Amarah membakar tubuhnya detik itu juga. Siapa laki-laki beruntung sialan itu?

"Tapi kamu dihadapkan pilihan antara keluargamu atau orang itu... siapa yang kau pilih?"

"Keluargaku!" jawab Abisena pasti. Tentu saja. Mungkin saja kedua orang tua Sisi tidak bisa menerima laki-laki itu sehingga gadis ini bisa begitu depresi. Sebuah keuntungan untuknya yang baru menyadari keindahan didepannya itu. Abisena sudah memutuskan. Sisi adalah miliknya. Akan selamanya begitu. Tidak seorangpun yang bisa merebut gadis itu darinya.

Tidak seorangpun.

"Keluarga ya," rahang Abisena semakin mengetat, sebegitu cintanyakah Sisi pada laki-laki sialan itu? Hingga menimbulkan kekecewaan yang terpatri jelas diwajah cantik gadisnya itu?

"Aku tau kedua orang tuamu, aku sungguh mengenal mereka sampai-sampai aku membayangkan tidak ada satupun kebaikan yang laki-laki itu miliki!" Abisena memutuskan untuk bicara.

"Kau tau, kedua orang tuamu selalu bisa melihat satu kebaikan kecil dari setiap orang. Sejahat apapun orang itu. Jadi, jika mereka tidak menyukai laki-laki itu. Berarti memang ia tidak pantas untukmu," lanjut Abisena.

"Percayalah, apapun yang dilakukan kedua orang tuamu adalah untuk kebaikanmu sendiri. Saat mereka memintamu memilih, kau bahkan seharusnya tidak berfikir dua kali." Abisena menatap Sisi. Mengapus air mata yang mengalir di pipi gadis itu. Membisikan kata-kata menenangkan tanpa tahu, ialah laki-laki itu.

Stuck On You [COMPLETED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora