One: All Hail The Singles!

20.1K 2K 120
                                    


Untuk pertama kalinya, Orin merasa iri pada para jomlo. Yang hidupnya bisa bebas semaunya tanpa dibebani berbagai pertimbangan gara-gara kehadiran pasangan.

Diliriknya pria yang sedang mengemudi di sebelahnya itu. Pagi ini semua dia lalui sama seperti pagi-pagi yang lain sejak kedatangan Berlyn dari Belanda. Orin bukannya tidak menghargai usaha pria itu yang sebisa mungkin menyempatkan diri untuk menjemputnya, agar mereka bisa berangkat bersama-sama ke kantor. Tetapi keberadaannya di dalam Odyssey warna hitam yang mencolok mata ini membuatnya tidak nyaman.

"Sebenernya kamu mending parkir aja di gedung kamu. Ntar aku yang jalan kaki sendiri ke gedung aku, Bee," kata Orin entah untuk keberapa kalinya. Bee adalah panggilan yang akhirnya dia gunakan bagi pria itu setelah Orin pusing sendiri untuk menentukan apa yang pantas baginya.

"Emang kenapa kalau aku antar kamu sampai ke gedung hydro—divisi hydro—?" tanya Berlyn kalem. "Kurang ganteng?"

"Idih! Aku ngomong serius, bukan bercanda!"

"Aku juga serius, Sayang. Serius gantengnya!"

Dan Orin tahu kalau dia tidak akan menang melawan Berlyn dengan cara begini. Jadi dengan sabar dia menunggu sampai pria itu membelokkan kendaraannya di pintu gerbang gedung hydro, memarkirnya di sebelah Nissan Terrano milik Pak Dhani, atasan Orin.

Kalau dipikir-pikir, menjalin hubungan denga Berlyn memang seolah mengencani atasan sendiri. Pak Dhani selevel dengan Berlyn, karena pria itu adalah kepala di divisi bisnis energi yang baru diresmikan dalam pesta perusahaan minggu lalu. Dan sekilas dari perkataan Berlyn, bulan depan pria itu sudah harus berkeliling Indonesia untuk mengunjungi lokasi proyek mini hydro power plant yang tersebar di beberapa pulau.

"Di antar sampai sini aja, ya. Nggak usah sampai atas," kata Orin sambil cepat-cepat membuka pintu.

"Tapi aku udah janji mau ketemu bos kamu, Rin. Masa iya aku harus jalan sendiri. Kalau aku ilang gimana?"

"Lebay! Aku kasih GPS deh, biar gampang ketemu kalau hilang."

Tetapi Berlyn hanya tertawa menyeringai. Dengan cepat keluar dari mobil dan segera menyusul Orin yang sudah berjalan lebih dulu. "Aku nggak butuh GPS. Cuma butuh dibarengi aja kayak gini," katanya sambil berjalan dengan tenang di sebelah Orin.

Dan itu akan jadi masalah besar bagi Orin. Sekuriti yang menyambut kehadiran mereka dengan tawa lebar. Berlyn menanggapinya dengan tawa jail tak tahu malu. Sedang Orin hanya sanggup tersenyum tipis sambil mengangguk singkat.

"Kamu bisa langsung ke kantor Pak Dhani dari arah situ ya, biar aku lewat lift ini aja," Orin akhirnya tidak tahan ketika beberapa pasang mata yang lain menyaksikan kehadiran mereka dengan tatapan penasaran. Dengan cepat gadis itu kabur menuju pintu khusus karyawan yang untuk mengaksesnya dia harus memindai kartu karyawannya pada detektor di sebelah lift.

Bukan tanpa alasan kalau dia berusaha menghindar dari pda—personal display of affection—ala Berlyn ini. Sejak kemunculannya mendampingi pria itu pada acara resmi perusahaan, tiba-tiba dunianya tidak lagi sama. Dengan menyesal dia menyalahkan diri sendiri yang terlambat mengantisipasi konsekuensi yang harus dia terima sebagai orang dekat pria seperti Berlyn. Yang salah satunya adalah harus menerima perhatian melebihi kapasitas yang bisa ditoleransinya.

Semua bermuara pada sosok Berlyn. Selalu saja Berlyn. Dengan muram Orin membayangkan hari-hari kerjanya di kantor ini yang perlahan mulai terusik.

Suasana ruang kerjanya masih sepi ketika Orin berjalan cepat menuju ke kubikelnya. Hanya terlihat Faruq dan Reza yang sedang tekun di depan layar komputer mereka. Kedua cowok tersebut masuk ke perusahaan ini bersamaan dengannya. Sekarang mereka juga berada di tim yang sama. Tim analis hidrologi yang digunakan untuk menyuplai kebutuhan data desain untuk proyek-proyek pembangkit listrik yang pelaksanaannya dihendel oleh Berlyn dan anak buahnya.

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang