Eight: Reality Sucks!

8.5K 1.6K 93
                                    

Sialan! Dikira aku sudah tidur sama Berlyn!

Apalagi beberapa temannya yang perempuan ikut menunduk. Seolah malu. Sedangkan para cowok cengar-cengir dengan muka mesum. Rasanya Orin ingin bumi terbelah dan menelannya hidup-hidup.

Keadaan tidak membaik ketika beberapa menit sebelum jam kerja resmi berakhir, Berlyn muncul dengan wajah orang bangun tidur. "Pulang yuk, Rin!" ajaknya.

Suara Berlyn, meskipun dalam kondisi biasa, sanggup bikin orang tuli sekali pun bisa dengar. Orin yang memang sudah bersiap-siap, mengikuti langkah beberapa temannya yang selalu ingin pulang lebih cepat di akhir pekan, hanya berharap dalam hati semoga pria itu nggak ngaco seperti biasa. Mulutnya lho, remnya kayak blong gitu.

Maka cepat-cepat Orin bangkit dan berjalan menghampiri Berlyn sebelum dia mendekat. "Yuk!"

"Dianter sopir kantor, Rin."

"Oke."

Orin berjalan secepat yang dia bisa, menghindar dari kerumunan teman-temannya yang mulai mengikuti jejaknya. Apalagi kalau tidak bergerombol di depan mesin absen. Tetapi Berlyn punya niat lain. Orin malah ditarik ke depan pintu ruangan Pak Dhani. Padahal di situ terdapat lebih banyak lagi teman-temannya.

"Kok ke sini?" protesnya.

"Nunggu Pak Dhani juga. Barengan ntar diantarnya. Kan searah."

"Oh," komentar Orin. Menangkap bayangan Pak Dhani yang juga sedang siap-siap.

"Ntar langsung pulang aja ya, Rin. Nggak usah mampir ke tempat kosmu," kata Berlyn kalem, seolah mereka sudah setiap hari pulang ke rumahnya.

Orin menarik napas dalam-dalam. Andai hari ini dia memakai sepatu kanvas tanpa tali yang mudah dilepas, mungkin sudah ditaboknya mulut Berlyn pakai alas kaki itu! Kekhawatiran Orin bukannya tanpa alasan. Di dekat sana ada Mei yang paling ingin dia hindari. Karena entah kenapa, sejak tadi cewek itu seperti sedang menunggunya lengah untuk menyerangnya.

"Oh, baru tahu kalau Orin sekarang sudah resmi pindah domisili!"

Tepat seperti dugaan, Mei menyambar kesempatan ini untuk berkomentar. Orin menatap cewek itu dengan pandangan mata berapi-api.

Mei yang menyadari kalau Orin yang lugu ini mudah terpancing emosinya, melahapnya seketika. "Apa perlu gue bantu ngurusin ubah data di HRD, Rin? Serumah gitu sama Pak Berlyn? Tapi status kamu masih belum menikah, kan?" tanyanya mengejek.

Orin, dengan wajah merah padam, tak sanggup berkata-kata. Dia adalah gadis yang tidak pernah mencari musuh dengan cara melontarkan kalimat ejekan maupun memancing-mancing emosi orang. Sehingga kemampuannya dalam mempertahankan diri untuk urusan begini juga lemah.

"Nggak usah, Mei," jawab Berlyn santai. "Nggak usah sekarang maksudnya. Bentar lagi juga status Orin berubah kok. Ntar aja sekalian ubah datanya."

Tanpa menunggu reaksi Mei, Berlyn menggamit lengan Orin. Kepada teman-teman Orin yang sedang menatap mereka, pria itu berkicau riang seperti biasa. Berkomentar ini itu, membuat mereka tertawa. Kehadiran Pak Dhani juga ikut menetralisir suasana. Tanpa harus dikatakan pun semua paham bahwa apa yang diucapkan Mei sudah termasuk kelewatan, untuk standar gadis seperti Orin.

Sepanjang perjalanan pulang, Orin memilih diam. Membiarkan Berlyn mengobrol dengan Pak Dhani tentang rencana mereka untuk menindaklanjuti hasil temuan selama di lapangan.

"Sebenarnya kalau secara ekonomi, lebih murah kita bikin penstock—pipa pesat yang berfungsi mengalirkan air dari kolam penenang menuju turbin air dalam proyek hydropower — , Pak Dhani. Kalau kita bikin open channel, pelaksanaannya lama," kata Berlyn.

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Where stories live. Discover now