Twelve: In The Name of Kindness

7.6K 1.6K 147
                                    

"Usia kita beda berapa tahun sih, Rin?" tanya Berlyn tiba-tiba.

Orin yang sedang mengotak-atik tablet di tangannya, terdiam dan mengerutkan kening sejenak. "Sebelas tahun kurang dikit. Waktu pertama ketemu, aku 23 tahun dan kamu udah mau ultah ke-34 tahun, Bee."

Berlyn tertawa. "Iya, ya. Ulang tahun paling mengesankan waktu itu. Karena ada salah satu penggemar yang kasih hadiah, tapi nggak berani memberikannya secara langsung. Kadonya ditinggal di depan pintu!" Berlyn tertawa terbahak-bahak. "Aku memang begitu mempesona—"

Sisa ucapan Berlyn berubah jadi teriakan ketika Orin mencubit pingganya sekuat tenaga.

"Woy! Rin! Kira-kira dong kalau nyubit!" katanya sambil menangkap tangan Orin dan mencengkeramnya kuat-kuat, mencegah gadis itu melancarkan serangan susulan. "Kamu kalau nyubit sakit banget!"

"Kamu juga kalau bicara nyelekit!" bantah Orin.

"Oh, kayak gitu nyelekit? Nyakitin gitu?" Berlyn bertanya dengan bego. Ya Tuhan, apa dirinya yang sudah terlalu tua jadi seperti gagap menghadapi orang-orang yang lebih muda begini.

"Nggak nyakitin sih. Tapi nyebelin."

"Beda?"

"Iya, dong. Jelas. Kalau nyakitin, misalkan kita jalan, jempol kaki terantuk ujung meja. Nah, itu sakit. Kalau nyebelin, misal kita lihat kecoak lari, dikejar nggak dapat. Sebel banget kan, pengen pukul pakai gagang sapu! Nah, itu definisi paling pas buat sebel."

Berlyn menarik Orin mendekat sambil tertawa terbahak-bahak. "Kecoa banget definisinya, Rin," katanya sambil mencium kepala Orin.

"Salah sendiri," kata Orin kesal. "Ngapain sih kayak gitu diungkit-ungkit terus? Seneng amat bikin aku malu!"

"Ya udah, maaf ya, Rin."

Itulah Berlyn, susah banget marahnya. Stock sabarnya sepanjang itu deh. Tetapi kalau dia nggak memiliki hati seluas samudera, nggak bakal dia dikadalin Irma selama itu. Buat Orin, kelakuan Irma itu bejat, karena menipu dan menutup fakta demi keuntungan pribadi. Buat Berlyn, apa yang dia lakukan adalah bentuk pertolongan yang bisa dia berikan. Dan fokusnya hanya kepada anak. Tanpa sadar kalau dimanfaatkan. Sebuah konsep yang benar-benar bertolak belakang.

Orin jadi kesal, teringat oleh telepon dari Irma tadi. Dia tak mengatakan apa pun. Karena tahu hanya akan membuatnya sakit hati. Berlyn juga belum membuka lagi ponselnya. Benda itu masih tergeletak seperti semula di atas meja. Mungkin nanti Berlyn akan tahu tentang adanya panggilan tak terjawab itu. Mungkin dia akan menelepon balik. Dan mungkin mereka masih berkomunikasi. Apa pun itu, Orin tidak mau berada di tempat yang sama dan terpaksa mendengarkan sesuatu dari masa lalu Berlyn yang hanya akan membuatnya cemburu.

Ada wilayah-wilayah tertentu dalam diri Berlyn yang belum sanggup dia masuki. Orin tidak berani bertanya. Bukan karena takut pria itu akan marah. Tetapi takut perasaannya yang rapuh itu akan terluka. Dan belum menjadi haknya pula menuntut Berlyn untuk memberinya garansi kesetiaan mutlak pada hubungan yang belum terbentuk sempurna ini.

"Bee..."

"Hm..." Berlyn tidak mengalihkan pandangan dari buku yang dia baca. Kacamatanya bahkan sampai agak melorot tanpa dipedulikan karena terlalu berkonsentrasi pada buku tebal tentang iklim yang ada di tangannya.

Berlyn adalah orang paling suka membaca buku yang ditemui oleh Orin. Dan di saat dia sudah beralih ke format digital, Berlyn masih setia dengan buku-buku fisik. Di mobil, di meja kantornya, di dalam tasnya, selalu tersedia cadangan buku bacaan. Rumah pun tak ketinggalan, selalu ada buku di atas meja kopi, di meja teras belakang, atau di atas nakas di kamarnya. Tanpa buku-buku yang berserakan, memang bukan rumah Berlyn.

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Where stories live. Discover now