Four: The Silent Question

9.3K 1.7K 60
                                    

Apa yang dicari pria pada diri seorang gadis sepertinya?

Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Orin setiap kali dia bersama Berlyn di tengah orang-orang lain. Seperti siang itu. Kehadiran Berlyn di galeri secara tak terduga membuat suasana heboh seketika. Ternyata murid-murid kursus Orin yang 100% wanita yang sudah menikah pun tidak mempan melawan pesona Berlyn.

"Ini calon suaminya?" tanya Kak Ira frontal. Wanita yang sudah memiliki anak berusia remaja ini tidak bisa menutupi keterkejutannya pada fisik Berlyn.

Aduh! Gini amat pertanyaannya sih? Emangnya nggak ada diksi lain yang lebih kreatif selain calon suami? Dengan wajah memerah Orin melirik Berlyn yang tersenyum menyambut sapaan ramah plus plus dari salah satu murid Orin ini. Semoga Berlyn tidak menduga yang tidak-tidak. Dia bukan jenis gadis bermulut ember yang suka mengumbar kehidupan pribadi pada orang tak dikenal. Apalagi sampai menyinggung calon suami segala!

"Nggak nyangka ya, Mbak Orin udah punya calon secakep ini!" lanjut ibu yang lain.

Emang cowok buat saya harusnya kayak apa, Ibu-Ibu?

"Buat Orin harus cakep dong," seloroh Berlyn. Suaranya masih serak. Sepertinya dia baru bangun tidur. Wajahnya pucat dan sembab. "Saya cukup oke kan, buat jadi pasangan Orin?"

Dasar mulut ember! Orin sudah mengulurkan lengannya hendak mencubit pria itu sebagai isyarat untuk tutup mulut. Dengan lihai Berlyn berkelit dan menangkap tangan Orin.

"Kalau orang cakep yang ngomong mah, oke aja. Setuju saya," si Ibu mengedip genit.

"Oh, pantas saja kemarin ketika saya kenalkan sama keponakan saya, Mbak Orin nggak berminat. Ternyata calonnya cakepnya seperti ini."

Wajah Orin kembali memanas sambil menghindari tatapan mata Mbak Riana. Sumpah, ketika minggu lalu perempuan berusia empat puluhan itu ke galeri bersama seorang pria muda yang dia kenalkan sebagai keponakannya, gadis itu tak menduga sama sekali kalau arahnya ke sana.

Dan Orin menyalahkan kehadiran Berlyn yang nggak tepat waktu sebagai biang kerok kegaduhan murid-murid kursusnya. Padahal kelas ini sejak satu jam yang lalu begitu hening karena semua sedang penuh konsentrasi menaklukkan japanese boro stitching –salah satu teknik sulam dari Jepang— yang terkenal rumit ini.

Dengan tegas dia menghalau para ibu kembali ke kursi masing-masing, mengelilingi meja besar itu, dan kembali pada jarum, benang, dan kain-kain mereka. Lalu mendorong Berlyn menuju ke bagian depan galeri.

"Kamu nunggu di sini aja ya, Bee," katanya sambil menyapa kedua asisten yang dipekerjakan Luna. "Emak-emak itu bisa buyar konsentrasinya kalau ada kamu," omelnya.

Berlyn tertawa. Keharuman sabun mandi yang baru dia pakai, --atau parfum?—tercium oleh Orin. "Kamu seger banget sih. Habis mandi ya?" protesnya yang tiba-tiba kesal.

"Masa iya mau ketemu kamu aku nggak mandi dulu sih, Rin?" Berlyn balas bertanya.

"Kamu nyindir ya?" tuduh Orin yang merasa sangat gerah karena beraktifitas sejak pagi. "Lihat nih, aku kucel kayak gini."

"Aku cukup seger buat kita berdua, Rin. Tenang aja," Berlyn ngeles dengan santai. Lalu menoleh membalas sapaan para gadis di galeri,

"Kurang-kurangin dikit lah cakepnya biar aku nggak kebanting," gerutu Orin lirih sambil meninggalkan ruangan. Gerutuan yang sepertinya tidak didengar oleh Berlyn.

Satu jam kemudian, setelah semua peserta kursus bubar, Orin menghampiri Berlyn yang sedang menunggunya di kantor Luna. Pada hari Minggu sahabatnya memang jarang muncul di galeri. Membuat Berlyn leluasa menempati ruangannya. Saat Orin tiba di pintu yang terbuka, pria itu sedang duduk di sofa. Kepalanya tersandar dengan nyaman dengan mata terpejam. Kakinya yang panjang menyelonjor santai dengan kedua lengan terkulai. Sebuah buku terbuka di pangkuannya, dan kacamata bertengger di puncak hidungnya.

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang