Six: Madame Boss

9K 1.6K 73
                                    


Kamu di hari ini adalah produk dari keputusanmu kemarin. Keputusanmu hari ini akan menjadi salah satu faktor penentu dirimu di masa depan.

***

Aih, apakah segala rasa nggak nyaman ini karena salah mengambil keputusan sih? Kok jadi kesannya aku ini orang yang nggak bersyukur banget. Berlyn udah sebaik itu lho!

Tiga tahun yang lalu, di ulang tahunnya yang ketiga puluh empat, Berlyn pernah berkata kepadanya. "Rin, tahu nggak bahwa saat ini, kamu pegang boarding pass buat langsung masuk ke kehidupanku?"

Orin tahu bahwa saat itu Berlyn bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Tetapi terhalang oleh rasa mindernya yang sudah sampai level parah dan membahayakan, juga karena Berlyn baru bercerai dengan Irma, membuatnya ragu dan akhirnya memilih menolak Berlyn.

"Saya percaya takdir, Pak. Biar semua yang butek ini bening dulu. Kalau Pak Berlyn memang untuk saya, pasti nanti Pak Berlyn akan nyariin saya." Itu adalah jawaban Orin saat itu.

Tiga tahun kemudian, Berlyn pulang dari Belanda. Di suatu pagi di hari Minggu, tiba-tiba saja pria itu muncul di depan pintunya. "Kuharap aku sudah cukup bening untuk membersihkan kebutekan masa lalu, Rin," katanya dengan senyum sejuta watt. "Aku sangat berharap kita bertemu di bandara tempo hari. Aku menunggu kamu datang menjemputku. Tetapi ternyata kita nggak bisa bertemu. Aku nggak bisa menunda lagi karena kupikir kita sudah menunggu terlalu lama untuk memulai hubungan ini."

Padahal saat itu perasaannya sedang sangat down. Peristiwa di bandara membuatnya tertekan. Berlyn tidak tahu kehadirannya serta alasan yang membuatnya membatalkan niat menyambut kedatangan pria itu.

"Sekarang kamu nggak nolak aku lagi kan, Rin?"

Menghadapi ucapan persuasif Berlyn di saat gamang seperti ini membuatnya tanpa sadar mengangguk untuk mengiyakan. Karena dia tidak sanggup mengucapkan penolakan tanpa harus menyampaikan alasan. Dan alasan itu terlalu menyakitkan, bahkan hanya untuk sekadar diucapkan.

Ah, betapa lemahnya aku!

"Yang bego emang kamu kok, Rin," cerca Luna gemas, ketika tahu-tahu saja Orin mengumumkan kalau dia sudah jadian sama Berlyn.

"Habis gimana lagi dong, Na. Aku nggak bisa nolak."

"Kenapa nggak bisa nolak?" Luna membelalakkan mata.

"Ntar aku patah hati. Aku kan nggak mau kehilangan Berlyn."

"Ya Tuhan Yang Maha Menciptakan Alam Semesta! Kenapa Kau ciptakan mahkluk paling absurd bernama Orin ini!" jerit Luna frustasi.

"Mungkin seiring waktu ntar aku akan bisa berubah, Na. Bisa menerima Berlyn apa adanya, dengan segala hubungan nggak jelas yang pernah dia jalani."

"Kata siapa bisa berubah begitu saja?" bantah Luna cepat. "Semua masalah nggak jelas ini muaranya cuma satu, kamu! Mindset kamu yang harus dibenerin dulu, Orin! Selama kamu nggak berusaha betulin cara jalan otak kamu itu, mau nunggu tiga tahun kek, tiga puluh tahun kek, nggak bakal bisa berubah! Sumpah, Rin. Aku bener-bener ragu sama maksud kamu yang sebenarnya. Tahu nggak kalau aku sering berpikir kalau kamu tuh nggak niat untuk niat serius sama Berlyn? Kamu hanya jadiin dia pelarian, setelah kamu gagal sama Sunu. Iya kan? Ngaku aja!"

"Eh, nggak gitu juga, Luna!" bantah Orin. "Aku udah move on sama Sunu, karena sejak awal aku nggak terlalu ambil hati tentang dia."

"Lalu apa masalahnya sama Berlyn?"

"Masalahnya ada sama aku. Aku aja sebel sama diri sendiri," keluh Orin.

"Nah, tuh, playing victim deh. Jangan cuma nyari amannya sendiri dong, dengan menyalahkan diri sendiri. Kamu harus berubah, Rin. Ini ibarat sebuah lukisan bentuknya persegi, tapi kamu paksa pakai frame oval. Jadi nggak masuk, bego! Duh gemes deh aku pengen nyubit kamu pakai gunting! Kalau kamu ogah rumit, kalau ogah nantang risiko, ngapain kamu pacaran sama Berlyn? Yang statusnya duda tapi nggak jelas."

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Where stories live. Discover now