Five: Bitter Candy

8.8K 1.7K 61
                                    

Andai orang tahu bagaimana rasanya jadi aku.

Persoalan yang berputar-putar di kepalanya ini tidak akan mudah untuk diceritakan kepada orang lain. Orin tak akan sanggup menerima risiko kalau dirinya dikatakan lebay, lemah, penuh drama, dan hiper sensitif. Hanya dengan membayangkan apa yang akan dikatakan Luna kalau sampai dia tahu apa yang sesungguhnya dia rasakan, Orin sudah merasa tertekan.

Luna akan mengatakan: apa juga aku bilang? Pacaran sama orang kayak Berlyn cuma bikin kamu tersiksa. Atau, kalau emang nggak sanggup, jangan paksa diri. Kasihan tuh perasaanmu.

Pertanyaannya, apa benar aku menyiksa diri dengan tetap bertahan bersama Berlyn? Apakah benar aku memaksa diri? Haruskah aku menyerah sekarang? Tapi, ya ampun! Ini kan baru jalan dua bulan!

Gini amat sih, rasanya punya pasangan? Kenapa aku nggak bisa kayak orang lain? Yang di awal jadian, mesra ke mana-mana, dan sayang-sayangan mulu bikin iri orang sedunia? Apa aku yang terlalu banyak menuntut? Apa aku yang terlalu ribet dengan pikiran sendiri? Adakah yang merasakan sama seperti aku?

Lalu apa pikiran Berlyn tentang aku?

"Udah ngelamunnya?' tanya Berlyn tiba-tiba.

Orin terkejut. Dia menoleh pada sosok pria di sebelahnya. Yang dipikirnya masih berkonsentrasi pada jalanan di depannya. "Maaf, pikiranku ke mana-mana."

"Nggak usah minta maaf, Sayang. Wajar itu," Berlyn tersenyum kepadanya. Seolah ingin menekankan kesungguhannya pada apa yang dia ucapkan, pria itu meraih tangan Orin dan menggenggamnya. Saat itu mereka berhenti di sebuah lampu merah.

Cara Berlyn mengucap sayang, seolah itulah namanya. Membuat Orin tiba-tiba ingin memberontak. "Aku nggak mau dipanggil Sayang," kata Orin tiba-tiba.

"Eh?" Berlyn terkejut.

"Panggil Orin aja."

"Kenapa, Sa—"

"Karena namaku Orin. Bukan Sayang."

Berlyn membuka mulut ingin berbicara. Tetapi karena Orin terlihat begitu tegang, akhirnya dia mengalah. "Oke, Orin. Kalau itu mau kamu."

Orin mengangguk, menarik tangannya. "Lampu lalu lintasnya udah hijau," katanya sambil memalingkan wajah ke luar jendela.

Karena semua cewek kamu panggil 'sayang'. Lalu apa bedanya aku sama mereka? Mastiin aja kamu masih hafal namaku.

Tetapi kalimat-kalimat itu hanya berteriak di kepalanya.

Ini hari Minggu, seperti biasa Berlyn menjemputnya dari galeri, lalu mereka pergi makan siang di suatu tempat yang dipilih secara acak. Sesudahnya adalah waktu paling berat untuk diputuskan. Orin tidak terlalu suka pergi ke keramaian kecuali ada perlunya. Tetapi kalau dia menolak pergi, Berlyn hanya memberinya opsi menghabiskan waktu di rumahnya yang masih berantakan tak keruan itu.

Seperti siang ini.

"Istrinya Pak Hus hari ini ke rumah kamu nggak, Bee?" tanya Orin.

"Nggak dong. Aku nggak mau diganggu kalau mau pacaran sama kamu."

Ish!

"Lagian Rin, kemarin dia negur aku loh. Karena kehabisan seprei, aku minta dia ambil seprei bekas penghuni lama rumah itu, yang tersimpan di gudang. Eh, kata dia nggak boleh."

"Kamu diomelin dong?"

"Iya."

"Kapok! Sukurin!"

"Kok sukurin sih, Say ... Rin!"

"Itu seprei bekas jijik kali Bee, kalau dipakai. Sumpah deh kamu ini," omel Orin.

Seulas senyum tersungging di bibir Berlyn. Pria itu merasa puas akhirnya Orin kembali fokus kepadanya. "Aku nggak sempat beres-beres rumah. Perlengkapan yang ada, kayak seprei dan selimut, diambil dari rumah orangtuaku. Jadi ketika dicuci, nggak ada gantinya."

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Where stories live. Discover now