Fifteen: Cold Anger

8K 1.9K 275
                                    

Rin, ntar kalau jadian sama Pak Berlyn, jangan pelit lho.

Pak Berlyn yang sebaik itu gimana ya ngadepin lo yang ribet kayak gini? Sama siapa aja welcome dan nggak curigaan kayak lo.

Ntar bisa-bisa lo kayak istri Pak Irsal deh. Curigaan mulu sama lakinya.

Kamu nggak guna banget sih jadi temen. Sampah.

Dengan merana Orin memandang HP di tangannya. Berlyn yang mencoba mengubunginya kembali dia tolak tanpa pikir lagi.

"Daripada bolak-balik reject panggilan, matiin aja ponselnya. Nggak ada gunanya lo pantengin kayak gitu kalau nggak ada niat buat terima panggilannya," komentar Valent.

Orin mendongak. Dia bahkan tak menyadari kalau pria itu masih berada di dekatnya.

"Udah, matiin aja. Bentar lagi bunyi lagi tuh."

Orin mengangguk. Seperti orang bego dia akhirnya mematikan benda itu dan meletakkannya.

"Nah, sekarang kayaknya lo perlu nangis deh!" lanjut Valent. "Berantem sama pacar itu biasa. Kalau kalian masih bisa berantem, memperdebatkan segala hal, artinya hubungan kalian masih sehat dan dinamis."

Masalahnya adalah kami merasa baik-baik saja. Tetapi selalu ada orang lain yang membuat keadaan jadi menyebalkan begini. Tetapi tentu saja Orin tidak mengatakan isi kepalanya. Gadis itu hanya mengangguk.

"Wajah lo yang sendu itu bikin kain-kain lucu ini jadi nggak lucu lagi, tahu? Mending lo ke teras belakang aja. Gue beresin kerjaan lo di sini sambil nungguin paket lo datang. Kasian kain-kain cakep ini. Ntar ikutan pucet kalau lo mau mewek di sini."

Pasti karena Valent punya adik cewek kayak Luna, yang membuatnya peka begitu. Orin ragu beberapa detik lamanya. Sebelum akhirnya mengangguk dan bangkit. Gadis itu berjalan menuju teras belakang yang di waktu seperti ini memang gelap karena tidak ada lampu yang dipasang. Satu-satunya sumber cahaya yang ada berasal dari ruang tengah.

Orin memandang pada kegelapan di hadapannya. Kepalanya sibuk berteriak untuk mempertanyakan bermacam hal yang membuatnya putus asa. Ngapain pacaran kalau lebih banyak nangisnya daripada ketawanya? Ngapain pacaran kalau lebih banyak menderitanya daripada senengnya? Pikir lagi, bener nggak Berlyn layak dipertahankan?

Akhirnya Orin tak tahan lagi dan menangis sesenggukan. Tetapi dia dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba meletakkan sekotak tisu di pangkuannya. Valent. Siapa lagi?

"Jangan biasakan menangis hanya untuk meluapkan perasaan. Nggak ada gunanya. Menangis itu hanya pengalihan sejenak. Tanpa usaha menyelesaikan, masalahnya nggak akan pergi, tetapi tetap ada."

Orin menoleh. Ditatapnya Valent dengan kekesalan yang tiba-tiba muncul. Kenyinyiran kakak Luna ini mulai membuatnya sebal.

Melihat Orin yang menatapnya dengan cemberut, Valent tertawa. "Udah nggak usah marah, itu paket lo sudah datang. Jadi mending lo segera tinggalin tempat ini. Udah malam."

Karena sudah nggak mungkin lagi jaim di depan Valent, akhirnya Orin menghapus sisa-sisa air matanya. Valent bahkan tidak merasa perlu untuk memberinya privasi dengan meninggalkannya sendirian. Sebaliknya menunggunya sampai siap.

"Yuk, Rin!"

Caranya memanggil pun terasa akrab di telinga, seolah mereka sudah lama saling kenal. Bukan orang yang baru pertama bertemu beberapa waktu lalu.

"Ke mana?"

"Pulang lah. Emang lo mau nginep sini?"

Orin terkejut.

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang