Seventeen: Two Path

8.3K 1.8K 112
                                    

Note: I'm back. Don't expect too much for me, please. Cuma pengen bilang: halo kalian semua, semoga masih ingat aku. Aku kangen hadir di sini.

Sometimes, the quiet person has the loudest mind.

Mengenal seseorang dengan sangat mendalam, membuat Orin memahami begitu saja tanpa banyak penjelasan. Seperti saat ini. Hanya dengan mendengar permintaan Berlyn saja, Orin sudah menduga ada sesuatu.

"Pekerjaan kamu buat ke lapangan besok belum selesai, ya, Bee?" tanyanya to the point.

Berlyn terkejut. "Kok kamu tahu?"

"Berlyn yang aku tahu, bukan tipe orang yang akan melanggar batas. Kamu tahu banget kalau aku nggak mau ke rumahmu yang akan membuatku harus menginap di sana. Dan tentunya kamu nggak akan merendahkan prinsipku dengan melanggarnya kan?"

Berlyn tersenyum pasrah.

"Jadi pasti urusannya adalah kamu butuh bantuanku untuk pekerjaan."

"You know me so well, Rin," kata Berlyn sambil tertawa.

Dan kamu nggak tahu apa-apa soal aku, batin Orin sambil mengembuskan napas. "Kamu ingat nggak berapa lama aku jadi asistenmu dulu?"

"Hm... beberapa bulan doang."

"Dan ternyata waktu sesingkat itu sudah cukup membuatku hapal banget kebiasaan kamu yang suka berantakan sebelum meeting. Bahkan sering banget kamu pergi meeting tanpa bawa laporan karena kamu menyuruhku menyiapkan segalanya secara mendadak," kata Orin sambil tertawa mengingat masa lalu. "Untung saja otak kamu encer, Bee. Jadi kamu selalu bisa tampil oke, meskipun kadang aku ngeri kalau dengar kamu ngomong. Orang satu ruangan bisa aja kamu kibulin habis-habisan tanpa sadar. Pinter banget deh Pak Dirut yang sekarang merekrut kamu dan menempatkan kamu di posisi kunci. Omongan kamu itu bisa jadi duit bagi perusahaan."

Berlyn tertawa mendengar ocehan Orin. "Tapi ada juga kok Rin, orang yang nggak mempan sama gombalanku."

"Oh ya? Siapa? Hebat banget? Sebab kadang kamu tuh kalau ngomong beneran deh bikin mabok. Untung aja aku udah paham banget jadi nggak gampang percaya sama kamu."

"Nah, ini orangnya. Kamu! Dibandingkan kamu, gombalanku mah nggak ada apa-apanya. Nggak pengen kamu belajar jadi tim negosiasi?"

"Ogah. Aku nggak pinter ngomong."

"Justru karena kamu cenderung diam, jadi lawannya keder. Akhirnya nyerah."

Orin mencubit lengan Berlyn. "Sembarangan!"

Berlyn mengaduh-aduh lebay penuh drama.

"Acara kamu besok diawali meeting, kan?" tanya Orin tak peduli.

"Tahu dari mana?"

"Nebak aja. Karena kamu biasanya paling malas ikut penerbangan pagi kecuali terpaksa. Dan besok kamu harus berangkat ke bandara jam lima pagi."

Akhirnya Berlyn menyerah dan mengakui kalau Orin menyimpulkan kebiasaannya dari detail-detail kecil begitu. Wajar, bagi orang yang sehari-hari menaruh perhatian begitu dalam pada gradasi warna benda sehalus benang, pasti tidak sulit menilai orang seekspresif dirinya yang tampak jelas di depan mata.

"Ya kan?" Orin menandaskan.

"Besok aku harus langsung rapat sesampainya di Makassar," jawab Berlyn. "Tapi bukan karena itu aku mengajakmu pulang, Rin. Urusan pekerjaan aku bisa suruh Jeffry," Berlyn menyebut nama deputinya. "Atau Anom. Bagian dia itu beresin laporan-laporan berantakan."

Si kacung pacar Mila! Batin Orin dengan kesal. Sialan, kenapa nama ini jadi terdengar menyebalkan sih, di telinganya? "Anomnya ke mana?"

"Tadi dia aku suruh urus cewek-cewek temen..." Berlyn segera meralat kalimatnya. "Begitu kamu menutup telepon, aku suruh Anom ngurusin cewek-cewek itu dan aku langsung balik."

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Where stories live. Discover now