Thirteen: Psycho War

8.8K 1.6K 197
                                    

Berlyn menghentikan mobilnya di halaman tempat tinggal Orin.

"Jangan turun dulu, ya," pintanya.

Orin mengangguk dan membatalkan gerakannya untuk membuka pintu.

Pria itu bukannya tidak menyadari kalau Orin menjadi pendiam setelah obrolannya bersama Vero. Dia menunggu Orin untuk bertanya. Tetapi gadis itu bungkam. "Rin, soal aku dan Vero ..."

"Aku tahu kok, Bee," potong Orin cepat. Meskipun definisi 'tahu' di otaknya berbeda dengan 'paham' di hatinya.

"Oh ..."

Orin sengaja menghentikan topik itu. Dia belum siap untuk menerima kenyataan. Banyak hal yang harus dia pikirkan pelan-pelan. Bahkan tanpa mengatakannya pun Orin sudah merasa dirinya begitu buruk dan menyedihkan. Cemburu sama anak tiri? Ha? Serius kamu, Rin? Lalu kenapa kamu nekad menjalin hubungan sama Berlyn kalau hanya melihatnya ngobrol sama anak tirinya saja sudah membuatmu terbakar begini? Bego! Jahat pula. Apa salahnya Vero, dia toh cuma anak kecil, Rin?

Iya, dia cuma anak kecil. Tapi saat ini aku benci banget sama Vero. Ya Tuhan! Sebenci ini aku sama makhluk lucu ini karena aku tidak bisa menahan rasa curiga kalau Vero hanya alat Irma untuk mendekati Berlyn kembali! Demi apa aku pula aku juga cemburu pada Irma? Karena mereka sudah lama bercerai. Dulu pun mereka juga tidak benar-benar menikah, bukan?

"Oh ya Rin, mulai besok aku akan sibuk sekali."

Orin mengangguk. "Iya. Aku dengar juga beritanya. Kamu mau ke lapangan lagi, kan?"

"Iya. Mungkin dua atau tiga hari lagi aku harus terbang lagi. Dan kali ini akan lama banget di lapangan. Mungkin sebulan deh karena aku harus keliling Sulawesi."

Lagi-lagi Orin mengangguk. "Iya, Bee. Selamat menikmati kesibukannya, ya. Makasih banget udah nemenin aku beberapa weekend ini. Nggak cuma kamu, aku juga seneng banget berada di dekat kamu."

Karena kalau berdekatan, apa pun yang dia rasakan, selama ada tangan Berlyn yang menggenggamnya erat, Orin yakin semua akan baik-baik saja.

Berlyn begitu enggan melepas Orin. Seolah tak rela, diraihnya tangan Orin dan diciumnya jari-jari gadis itu. "Kamu harus tahu Rin, kalau akau sayang banget sama kamu."

Orin mengangguk. "Aku tahu kok, Bee," balasnya sambil melepaskan diri.

Orin mesasa sangat tak sabar untuk segera menikmati kesendiriannya dan merenungkan semua yang terjadi. Karena dia ingin menangis untuk melegakan segala perasaan yang mengganjal di dadanya. Apanya yang salah, Tuhan? Aku menyayangi Berlyn. Berlyn menyayangi aku. Semua begitu sempurna. Tetapi kenapa aku begitu takut?

Andai hidup hanya tentang mereka berdua. Betapa semuanya akan menjadi lebih sederhana.

***

Karena hari-hari sibuk Berlyn di kantor justru menjadi gunjingan para pegawai. Si mulut bocor siapa lagi kalau bukan Mila.

"Rin, Pak Berlyn mau ke lapangan agak lama kan?" tanya cewek itu sambil mendekat.

Orin yang sedang bekerja memenuhi daftar yang harus dia selesaikan, memandang sekilas pada temannya. "Iya," sahutnya pendek.

Apaan deh Mila ini. Makin lama rasanya makin rese aja. Orin merasa risi sendiri karena tidak bisa menebak apa maunya. Karena saat berbicara, Mila tidak menutup-nutupi, atau malah sengaja menonjolkan fakta kalau Anom, pacarnya, adalah orang kepercayaan Berlyn. Dan kemungkinan kariernya akan bagus kalau Berlyn mau mengusahakan posisi yang lebih tinggi.

Orin sama sekali tidak pernah berpikir sampai ke urusan jabatan orang. Boro-boro orang lain, buat diri sendiri saja Orin lebih memilih cara yang lebih bermartabat. Emang apa enaknya menempati satu jabatan karena dibantu orang, padahal kemampuan nggak ada?

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Where stories live. Discover now