Nineteen: Sweet Revenge (a)

9.2K 1.7K 173
                                    


"Idih! Ini yang mau dapet jabatan baru, kenapa malah sendu?" ledek Luna ketika mereka menghabiskan waktu bersama di sebuah kafe.

Kepergian Berlyn membuat kedua sahabat itu bisa menghabiskan waktu bersama dengan hang out sepulang kerja.

"Jabatan baru, kesibukan baru, tantangan baru." Orin menimpali tanpa semangat.

"Bukannya kamu paling demen sama kesibukan? Pekerjaan nyebelin kayak olah data aja kamu doyan, Rin. Ndedel jahitan, sambung-sambung perca, dan entah apa lagi pekerjaan ngebosenin lain, kamu lahap kayak orang kelaparan."

"Emang sesuai dengan karakterku yang ngebosenin kok."

"Mulai deh," omel Luna gemas. "Kamu kalau udah merendah kayak gitu, nggak asyik banget!"

Orin tertawa. "Tapi kan emang nyatanya gitu. Aku suka dengan kesibukan biar aku nggak punya banyak waktu luang, yang bikin aku mikir macem-macem."

"Lalu masalahnya di mana?"

"Aku nggak bilang ada masalah. Kamu aja yang menyimpulkan sendiri."

"Kayak aku nggak kenal kamu aja, Rin," kata Luna sambil melengos.

Orin tertawa. Memang masalahnya di mana? Orin merasa beruntung punya atasan Pak Dhani, laki-laki lugu dan lurus, yang hidupnya nggak neko-neko. Memandang segala hal seperti beliau memperlakukan angka. Salah ya salah, benar ya benar. Tidak peduli angka itu dirilis oleh siapa.

"Aku curiga kalau Pak Dhani menilai para bawahannya memakai pendekatan statistik," kata Orin setelah menceritakan sekilas profil atasannya. "Jadi kami-kami ini para bawahan dianggap sebagai variabel data, dan beliau memprofilkan kami dengan cara membuat kurva distribusi frekuensi. Jadi ada kurva yang simetris, menceng ke kiri, dan menceng ke kanan."

Luna terbahak-bahak mendengar penjelasan Orin. "Emang bener, Rin, kamu emang ngebosenin. Joke kamu aja tentang distribusi statistik!"

"Ngadepin data atau perca, aku nggak pernah keder. Tapi ngadepin orang, aduh. Aku paling males konflik. Gila aja, orang yang mengaku teman kerja, seringnya kalau ngomong tuh nyakitin. Sejak awal aku pacaran sama Berlyn, udah bolak-balik aku dipancing untuk minta promosi lewat Berlyn. Itu bikin aku kesel. Dikira semua orang oportunis kayak mereka."

"Kamu harus belajar untuk membiasakan diri menghadapi orang kayak gitu, Rin. Mana bisa kamu sembunyi terus-menerus di balik pekerjaan kamu? Kalau memang kamu takut dihujat, resign aja dari kantor. Jadi full time crafter."

"Resign? Gila kamu, Na! Apa kata ibuku kalau aku nggak punya kerjaan?" tanya Orin dengan ekspresi ngeri.

"Siapa bilang nggak punya kerjaan? Kamu selama ini di galeri ngapain, Rin? Masa iya menjelaskan tentang pekerjaan sampingan begini ke ibumu kamu nggak bisa?" tanya Luna gemas.

Orin menunduk. "Ibuku menganggap kalau bukan pekerjaan tetap di satu institusi, itu bukan bekerja namanya. Di mata ibuku, pekerjaanku sekarang ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya hal bener yang aku lakukan. Setelah serangkaian kegagalan yang sudah aku rasakan. Dan bolak-balik aku mengecewakan ibuku karena aku sering tidak bisa memenuhi ekspektasi beliau," kata Orin dengan muram.

"Even your family?" Luna membelalak. "Duh, Rin. Kamu udah minder akut plus ruwet gini, kebayang deh kalau harus ngadepin orang tua yang menuntut ini itu."

"Yah, gimana lagi, Na? Mereka kan orang tuaku? Kamu pikir, kenapa aku menyambar kesempatan pertama untuk kerja di sini, jauh dari kota kelahiranku? Yah, biar aku bisa bebas."

Luna mengamati sahabatnya. "Setelah pergi sejauh ini, semua akan sia-sia kalau kamu nggak berubah, Rin. Kalau kamu nggak mau ambil risiko dengan menunjukkan siapa dirimu dan apa maumu, yakin deh, selamanya hidup kamu akan didikte oleh keadaan."

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Where stories live. Discover now