Bab 36 (2)

5.7K 1K 156
                                    

"Kenapa Papa di sini?" Adalah pertanyaan yang keluar dari mulut Aji.

Gio tidak menjawab. Pria itu melangkah meninggalkan lapangan. Sang anak mengikutinya.

"Ambil tas kamu."

Lelaki itu menjawab, "Iya." Kemudian, ia melangkah pergi menuju kelasnya. Setelah mengetuk pintu, ia masuk ke dalam ruangan, menuju tempat duduknya. Seragam sekolahnya yang basah karena keringa, wajahnya yang terlihat sangat pucat menambah perhatian teman kelasnya.

Lengannya ditarik oleh Fanya ketika ia melangkah keluar kelas. "Kamu pucet banget. Sakit, ya?"

Ia tersenyum tipis. Tangannya mengusap rambut gadis di depannya. "Papa udah nunggu."

Kemudian, lelaki itu kembali melangkah, menghampiri Gio yang berdiri tak jauh dari ruang kelasnya. Dalam tiap langkahnya, ada doa yang ia panjatkan untuk keselamatan dirinya. Untuk kali pertama di hidupnya, ia tidak mengerti ekspresi apa yang ditunjukkan oleh pria itu. Tidak ada senyum ramah maupun ekspresi marah.

"Kita ... mau ke mana?" Pertanyaan yang spontan itu keluar dari mulut Aji ketika keduanya sudah berada di luar area sekolah. Detik berikutnya, Aji memaki dirinya sendiri dalam hati.

Mengapa ia berani berbicara di saat seperti ini?

"Pulang," jawab Gio dengan singkat.

Aji mengangguk. Kakinya mengikuti kemana langkah sang ayah pergi. Ia baru menyadari jika mobil milik pria itu terparkir di luar sekolah.

Keduanya masuk ke dalam kendaraan roda empat itu. Selama perjalanan pulang, Aji terus memikirkan jawaban apa saja yang akan ia berikan sesampainya di rumah nanti. Dirinya sangat tahu, setelah ini akan diintrogasi.

***

Keduanya telah sampai di rumah. Gio memasuki rumah lebih dulu.

"Papa mau makan siang di rumah?" sapa Mel yang masih mengenakan jas putih, tanda bahwa ia baru pulang dari bekerja.

"Iya, Papa udah pesen makanan." Pria itu memeluk sekilas sang istti.

"Loh, kamu pulang cepet?" tanya Mel ketika menyadari kehadiran Aji.

Gio menatap anak lelakinya. "Masuk kamar."

Anak itu mengangguk, kakinya melangkah cepat menuju kamar. Kepanikan membuatnya tak sengaja menutup pintu dengan keras.

Fiqa yang sedang berada di dalam kamarnya, terkejut. Iapun keluar dengan tergesa. Kakinya berlari kecil menuju lantai bawah. Niatnya, ia ingin bertanya ada apa. Nyatanya, ia mendapati kedua orang tuanya sedang berdebat.

"Papa tau kalau Aji gak bisa panas-panasan." Mel menatap sengit suaminya.

"Ma, dengerin Papa sekali lagi, ya." Nada suara Gio terdengar lembut. "Waktu tau kalau pihak sekolah nelepon, Papa langsung ke sekolah Aji. Posisinya, dia udah di tengah lapangan."

"Ini alasan kenapa Mama bilang dari awal, Mama minta Papa buat bilang ke pihak sekolah untuk jauhin Aji dari kegiatan panas-panasan. Tapi, apa Papa dengerin ucapan Mama?"

Gio diam.

"Sekarang, kalau ada apa-apa sama Aji, siapa yang mau tanggungjawab?! Kita pernah hampir kehilangan Aji! Dengan Papa yang diem aja waktu tau Aji dijemjur di lapangan tanpa alasan, udah ngebuktiin kalau Papa sebenernya gak peduli sama Aji!"

Kedua mata Gio membulat, terkejut dengan perkataan istrinya. "Ma, Papa peduli sama Aji."

"Apa Aji harus kayak Qila dulu supaya Papa peduli?!"

Kini, wajah Gio mulai memerah. Mel baru saja menyebut hal yang sangat sensitif.

"Seharusnya Papa marah sama pihak sekolah karena udah ngebiarin Aji panas-panasan! Di mana bentuk pedulinya Papa sebagai seorang ayah?!"

WasanaWhere stories live. Discover now