Bab 63

4K 552 54
                                    

Aji berjalan dengan cepat menuju ruang kelasnya. Perasaannya campur aduk. Fakta bahwa ia menyebar informasi yang mungkin ditutupi oleh keluarganya telah membuatnya merasa seperti penghianat.

Memasuki ruang kelas, ia memgabaikan sapaan teman-temannya.  Fokusnya terpaku pada letak tas sekolahnya berada. Setelah memasukkan semua barangnya ke dalam tas, ia menghampiri sang kekasih.

"Aku mau pulang. Maaf gak bisa antar kamu, uang buat naik ojeknya udah aku kirim."

Tanpa menunggu lawan bicaranya bersuara, Aji meninggalkan ruang kelas. Amarah dan kekecewaan melebur menjadi satu, menyelimuti dirinya.

"Ji, mau ke mana?"

Pertanyaan dari Damar yang juga ia abaikan. Pikirannya terlalu kalut, membayangkan reaksi anggota keluarganya terutama Qila.

Langkahnya cepat menuju gerbang sekolah. Entah bagaimana, ia bisa membuat satpam yang bertugas membukakan pintu gerbang untuknya. Iapun berlari menuju mobil yang sangat ia hapal.

"Pulang," ucapnya setelah menutup pintu.

Perjalanan terasa sunyi. Tidak terdengar ocehan konyol dari bibir anak lelaki itu. Pikirannya begitu kusut, entah apa yang akan ia jelaskan pada Qila jika wanita itu tahu bahwa satu sekolahnya kini mengetahui masalah perjodohannya.

Sesampainya di rumah, Aji berlari menuju lantai atas. Dilihatnya televisi yang telah berganti dan suasana rumah yang telah bersih dari kekacauan yang ia perbuat sebelum berangkat ke sekolah.

Kakinya kembali melangkah, masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu walk in closet dan pintu kamarnya. Dengan begitu, tidak ada akses untuk orang lain masuk ke dalam kamarnya. Iapun merebahkan diri di atas kasur, membuka laptop dan menghubungi seseorang yang sangat ia butuhkan kehadirannya saat ini.

Tepat setelah ia mematikan gawai miliknya, panggilan video terhubung. Terlihat wajah ceria Kakek di sana.

"Halo, cucu Kakek." Pria tua itu tersenyum.

Aji memajukan bibir bawahnya.

"Kenapa?" Kakek terlihat khawatir. "Cerita sama Kakek."

"Aji benci guru Aji!" Suaranya terdengar menahan kesal.

Dengan lancar dan tanpa rasa takut, ia menjelaskan apa yang terjadi. Mulai dari bagaimana ia merasa sangat yakin untuk menaruh percaya pada gurunya hingga apa yang ia rasakan ketika tahu bahwa guru itu membeberkan seluruh ceritanya.

Terlihat jelas ekspresi Kakek yang berubah. Berusaha mengendalikan suaranya, pria itu bertanya, "Terus Aji maunya gimana?"

"Aji mau dia dipecat aja! Dia gak bisa kerja. Kakek tolong Aji, please."

Kakek terkekeh. Hal yang membuat Aji merasa semakin kesal.

"Gak ada yang lucu, Kakek!"

Tanpa menunggu balasan, anak itu mematikan panggilan video dan mematikan laptopnya. Iapun memutuskan untuk tidur, berharap masalahnya dapat selesai dengan sendirinya.

***

Aji terbangun dari tidurnya. Suara berisik yang terus memanggilnya bersamaan dengan suara gedoran pintu yang kasar berhasil menganggunya. Dengan tubuh yang berusaha untuk seimbang, ia melangkah menuju pintu dan membuka kunci.

Detik berikutnya, pintu terbuka dari luar. Tak bisa mencerna apa yang terjadi selain pelukan erat dari sang ayah yang ia rasakan secara tiba-tiba.

"Kalau kamu gak mau ada kamera di kamar kamu, Papa gak masalah. Asal jangan pernah ngunci pintu kamar kamu lagi." Suara Gio terdengar gemetar.

WasanaWhere stories live. Discover now