Bab 19

11.8K 1.2K 107
                                    



Seorang guru yang tiba-tiba datang berhasil membuat anak kelas Aji berlarian menuju bangkunya masing-masing. Tidak adannya guru sejak sepuluh menit lalu telah membuat anak kelas itu bermain di dalam kelas.

"Arazzi, ikut saya." Wanita itu berucap tegas.

Aji berdiri dari duduknya, melangkah maju menuju pintu kelas. "Ada apa, Bu?"

"Ada orang tua kamu."

Ekspresi Aji berubah bingung. Diambilnya gawai dari dalam saku celana. Setelah dicek, tidak ada pesan dari orang tuanya. Tidak seperti biasanya mereka datang ke sekolah tanpa memberikan informasi terlebih dahulu. Kakinya mulai melangkah mengikuti guru wanita di depannya. Langkahnya terhenti tepat di depan Ruang Wakil Kesiswaan. Sebelum memasuki ruangan, kedua matanya melihat sepatu milik orang tuanya yang sangat ia kenali.

"Papa? Mama?"

Tanpa menoleh, Gio memberikan isyarat untuk anaknya supaya duduk di antara ia dan Mel.

"Gak usah, biar Mama aja yang di tengah," ucap Mel.

Aji menurut. Ia duduk di sofa panjang yang cukup untuk tiga orang. Di sisi sebelah kanannya, terdapat sofa yang sama panjang. Ada seorang pria yang tidak ia kenali duduk di sana. Di depannya, sudah ada pria yang menjabat sebagai Wakil Kesiswaan.

Tak lama, pintu kembali terbuka. Seorang murid memasuki ruangan dan duduk tepat di sebelah pria di sofa samping Aji. Laki-laki itu menoleh, ekspresinya terkejut ketika menyadari siapa murid itu.

"Kamu ngapain di sini, Fan?" tanya Aji dengan refleks.

Fanya hanya menunjukkan ekspresi bingungnya.

"Oke, sebelumnya, saya ingin bertanya pada Aji dan Fanya." Wakil Kesiswaan itu membuka percakapan. "Sedang apa kalian berduaan di tempat sepi kemarin sore waktu jam pulang sekolah?"

"What? Eh, maksudnya apa, Pak? Saya gak ngerti," ucap Aji.

Pria itu menunjukkan layar laptop. Di sana, ada sebuah video hasil tangkapan kamera pengintai. Terlihat jelas gerakan tubuh Aji yang lebih dulu memeluk Fanya. Keduanya sama-sama tidak menyadari adanya kemara itu. Sebenarnya, tidak ada masalah jika keduanya tertangkap oleh kamera, tetapi pendapat negatif para pihak sekolah lah yang menjadi masalah.

"Kamu bisa liat sendiri kelakuan kamu, Arazzi."

"Maaf, Pak. Saya gak ada maksud lain waktu peluk Fanya selain mau nenangin dia," ucap Aji dengan santai.

Dari intonasinya, Mel tahu bahwa anaknya tidak sedang berbohong.

"Kamu kira anak saya sakit jiwa sampe harus ditenangin?" ucap Pria yang duduk di samping Fanya.

Perkataan itu mampu membuat Mel dan Aji menunjukkan ekspresi terkejutnya. Bagi mereka berdua, itu adalah tanggapan yang tidak sopan.

"Maaf, Om. Saya gak ada maksud lain." Aji kembali menegaskan maksudnya memeluk Fanya kemarin sore.

"Saya tahu betul anak saya seperti apa, dan Fanya bukan orang yang depresi atau semacamnya. Kesehatan mentalnya baik-baik aja."

Aji terdiam. Dapat ia tarik kesimpulan bahwa ayahnya Fanya tidak mengetahui tentang anaknya sendiri. Padahal, ada bekas nyata yang dapat dilihat dengan mudah jika gadis itu suka melukai dirinya sendiri.

"Jadi, apa yang mau pihak sekolah lakukan?" Gio mulai angkat bicara.

"Seperti yang Bapak tahu, ini merupakan sekolah negeri, bukan swasta seperti sekolah Arazzi sebelumnya." Wakil Kesiswaan menjeda kalimatnya.

WasanaWhere stories live. Discover now