Bab 15

10.7K 1.2K 83
                                    

"Ji, mau gak?"

Siang itu, Aji memutuskan untuk ikut berkumpul bersama teman-temannya di warung dekat sekolah. Warung yang lokasinya berada di belakang restoran depan sekolah itu menjadi pilihan karena memiliki menu dengan harga kantong pelajar.

Aji mengambil sebatang rokok pemberian Sean. Seolah sudah terbiasa, anak itu langsung membakar dan mengisapnya tanpa ragu. Hembusan asap keluar dari kedua lubang hidungnya. Telunjuk kirinya mengusap layar gawai, membaca pesan dari Fanya, dan tersenyum tipis.

"Kalau lagi sama temen, gak usah pacaran dulu, gak bisa?"

Suara Arnaldo berhasil menarik perhatian Aji. Anak itu menoleh dan mengucapkan kata maaf, kemudian mematikan layar ponselnya.

"Senin besok udah ujian tengah semester aja. Gak terasa," ucap Nakula.

"Duh, gue belum siap. Bisa dimundurin gak, sih? Gue pengen jadi anak pinter di SMA." Arnaldo terkekeh.

"Mau dimundurin sampe tahun depan juga lo gak akan siap." Sean ikut tertawa.

Nakula menatap Aji. "Ini, nih. Pasti udah siap."

Yang ditatap hanya mengernyitkan dahinya. "Siap dari mana? Gue gak tau sistemnya kayak gimana."

"Balik aja lo ke sekolah lama," ledek Sean masih dengan tawanya.

"Gak bisa. Tahun ini mereka lagi mau ujian. Sekolah lama gue graduation-nya di kelas sepuluh. Makanya gue gak punya foto wisuda SMP." Aji mematikan rokoknya yang sudah pendek.

"Mau lagi?"

Aji kembali menerima tawaran rokok pemberian Sean.

"Wah, gila! Jangan banyak-banyak, Ji!" Kedua mata Nakula membulat, tak percaya jika kini Aji suka menghisab rokok.

"Santai aja, Ji. Peraturan ada untuk dilanggar." Arnaldo merangkul lelaki beralis tebal itu.

"Peraturan apa?"

"Di sekolah kita, gak boleh ngerokok. Lo gak tau? Eh, tapi ini kita ngerokoknya gak di dalem sekolah. Santai." Sean kembali tertawa keci. Tawanya memang memiliki ciri khas tersendiri.

"Kalau kita baik-baik aja, nanti guru ngapain?"

Mendengar pertanyaan Arnaldo, Aji meletakkan rokoknya di atas meja. Pandangan seriusnya tertuju pada temannya itu.

"Tugas guru itu memberi kita ilmu, mendidik kita supaya jadi orang yang membanggakan. Atau setidaknya, gak nyusahin negara terutama orang sekitar kalau udah lulus nanti. Kalau masalah sifat muridnya, sih, itu urusan orang tua masing-masing."

"Guru juga orang tua kita," balas Sean.

"Beda. Kalau kita kena masalah, yang paling malu pasti orang tua kita. Dan yang dicap gak bisa didik anak itu juga pastinya orang tua kita. Bukan guru."

"Ah, keren banget Aji-ku ini!" Nakula tersenyum bangga.

"Simpelnya, orang tua lo malu punya anak ngerokok." Arnaldo tersenyum miring.

Tiba-tiba, Aji membeku. Tubuhnya seolah tak bisa digerakan. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika ada wajah kedua kakak kembarnya yang terlintas di pikiran.

"Ya udah, Do. Mungkin Aji emang lagi butuh udara segar. Kayak kita gini." Sean yang menyadari ekspresi Aji, mencoba mencairkan suasana.

"Gue emang lagi ada masalah di rumah," ucapnya tiba-tiba. "Tapi, cara gue ini salah. Gue balik dulu, udah makin sore."

Kemudian, anak laki-laki itu bergegas menuju kendaraan roda dua kesayangannya dan meninggalkan tempat tongkrongan.


*


"Bang Aji! Kenapa Abang baru pulang? Les, ya?"

Suara anak perempuan menyambut kehadirannya. Anak itu, Lafi, berlari cepat dan memeluk Aji dengan erat.

Dari arah dapur yang berada di sisi kanan pintu utama, muncul seorang wanita.  "Iya, hari ini Bang Aji les. Lepas pelukannya, biar Bang Aji bisa ganti baju."

Refleks, laki-laki itu menepuk jidatnya. Bagaimana bisa ia melupakan jadwal lesnya hari ini?

"Ini bau apa, sih?" Lafi mengendus pakaian lelaki yang masih dipeluknya. "Baunya gak enak."

Salah tingkah, Aji bergegas menuju lantai atas untuk segera membersihkan diri.


*


Seorang laki-laki yang baru saja selesai berpakaian, melangkah turun menuju lantai bawah.

"Ma, kenapa bajunya Bang Aji kayak bau ayah kalau ngerokok?"

Suara anak perempuan itu membuat langkah kakinya terhenti. Merasa takut jika ada yang mengetahui tentang perilaku negatifnya di sekolah selain teman-temannya.

"Bang Aji? Kenapa diem di situ? Ayo, main. Aku kangen main bareng sama Abang."

Lafi hendak melangkah ketika Tata mencegahnya. "Udah sore, Nak. Kita harus pulang. Mainnya kapan-kapan aja, ya?"

Anak kecil itu memajukan bibir bawahnya. "Mama, aku mau main!"

Aji tersenyum, melangkah menghampiri anak dari pengasuhnya saat kecil dulu. Tangannya mengusap lembut puncak kepala anak itu. "Lafi, nurut sama Mama, ya? Abang janji, kalau Abang pulang cepet, kita jalan-jalan keliling komplek naik motor."

Ekspresi Lafi berubah menjadi ceria. "Asyik! Dadah, Abang!"

Tata mengajak anaknya pergi, meninggalkan Aji sendiri yang kini pikirannya dipenuhi oleh rasa takut membuat keluarganya kecewa. Namun, di sisi lain ia ingin menjadi anak berusia lima belas tahun pada umumnya yang bisa dengan bebas mencoba berbagai macam hal baru yang belum pernah ia coba sebelumnya.


**


Hai! Maaf baru bisa update. Aku tau ini sedikit, tapi aku harap ini bisa ngobatin rasa rindu kalian!

Sedikit cerita, awal bulan kemarin aku baru aja kehilangan sosok penyemangat aku dalam menulis. Beliau pergi setelah sebelumnya harus melewati masa koma selama sembilan hari.

Karena itu, aku merasa kehilangan segalanya. Termasuk rasa semangat untuk menulis.

Tapi, tenang! Sekarang aku akan mulai menulis lagi karena sadar banyak yang nunggu kelanjutannya haha.

Jangan lupa kunjungin cerita baru aku yang judulnya Lakuna, ya!

Oh, iya. Sekalian minta doanya supaya aku bisa lebih produktif lagi di sisa akhir tahun ini dan bisa segera nerbitin salah satu anakku! Wkwk.

Makasih udah setia nunggu di saat aku kemarin bahkan gak mikirin perasaan kalian yang rindu sama Aji, hehe.

WasanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang