Bab 44

5.4K 1K 198
                                    

Minggu Ujian Akhir Semester telah dimulai. Aji berhasil menyelesaikan ujian Bahasa Inggris dan Matematika dalam waktu singkat. Seorang pengawas dibuat terkejut dengan waktu pengerjaan yang tidak sampai satu jam.

Namun, hal itu berbeda dengan hari ini. Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran pertama. Pada menit ke lima sejak waktu ujian dimulai, ia sudah berada di soal nomor terakhir.

Matanya memerhatikan seisi ruangan. Semua peserta ujian terlihat fokus pada kertas miliknya masing-masing. Di tiap bangku sebelah kiri, ada siswa kelas lain. Sedangkan di sebelah kanan adalah teman-temannya. Sistem sekolah yang mengacak posisi tempat duduk membuatnya harus berpisah ruangan dengan Fanya.

Aji kembali menatap soal ujian miliknya. Tidak ada satupun yang ia jawab. Tidak ada satu nomor pun yang ia mengerti maksudnya. Meski sejak kecil telah mempelajari tentang ini di sekolah, ia belum pernah melihat soal dengan Bahasa Indonesia seperti ini.

Tubuhnya mulai mengeluarkan keringat dingin. Apa yang harus ia lakukan?

Ternyata, mempelajari pelajaran ini selama enam bulan terakhir tidak cukup. Selama ini, ketika ia mengerjakan tugas, banyak orang yang membantunya menerjemahkan soal dalam Bahasa Indonesia itu ke dalam Bahasa Inggris. Mulai dari guru di tempat ia mengikuti bimbingan belajar, anggota keluarga hingga teman sekolahnya.

Kini, ia harus menyelesaikan soal ini sendirian tanpa bantuan siapapun.

Tubuhnya terus mengeluarkan reaksi dari kepanikannya sendiri hingga ia mulai tidak mengerti apapun. Tidak ada satupun yang ia pahami artinya.

"Kenapa cuma diliatin?" bisik teman sebangku Aji.

Lelaki itu menoleh. Menatap teman sebangkunya dengan bingung.

"Sorry, I don't understand."

Tiba-tiba, Arnaldo mengangkat tangan.

"Ya, ada apa?" tanya seorang guru lelaki di depan kelas.

"Pak, maaf, soal saya gak lengkap."

Guru itu menghampiri Arnaldo dan mengganti kertas soalnya dengan yang baru.

Aji menatap kembali kertas soal ujian miliknya. Detik itu, ia baru menyadari  bahwa sekolahnya saat ini masih memakai kertas. Sekolah lamanya, sudah sangat meminimalisir penggunaan kertas.

Tanpa ragu, ia mengangkat tangannya.

"Soal kamu gak lengkap juga?"

Aji menurunkan tangannya. "Sorry, Sir. I don't understand."

Dari tempatnya, guru itu bertanya. "Apa yang kamu gak ngerti?"

"Sorry, Sir. I don't understand what you are saying."

"Ji, kenapa?" tanya Damar dari tempatnya.

Aji menatap temannya itu. "Sorry, but can you speak English?"

"Are you okay?"

"No. I don't." Ia mengambil kertas soal ujiannya. "I don't understand everything."

Damar terkejut. Sejak awal mengetahui jika Aji adalah siswa pindahan dari sekolah berbasis internasional, ia meragukan kemampuan berbahasa milik Aji. Semua keraguannya itu terbukti.

Aji membawa lembar jawabannya ke depan kelas, memberikannya kepada guru pria itu.

"Sorry, Sir. I don't feel well. Can I go home now?"

Pria itu menerima kertas milik Aji. "Siapa nama kamu?"

"What the meaning of siapa nama kamu? Sorry, Sir. I don't understand."

WasanaWhere stories live. Discover now