Bab 28 (2)

10.1K 1.5K 333
                                    

Gio baru saja menginjak anak tangga terakhir, telinganya tak sengaja mencuri dengar percakapan kedua anaknya. Langkahnya terhenti dan sedikit mengintip.

"Kenapa Kakak bilang kalau Kaela dipukul papa?" Aji menatap kedua mata gadis di hadapannya.

"Kapan aku bilang begitu?" Fiqa terlihat bingung.

"Kemarin. Kakak lupa?"

Gadis itu memalingkan wajahnya. "Kamu salah denger."

Dengan wajah kecewa, Aji memasuki ruang kamar yang berada tepat di belakangnya.

Gio menghampiri Fiqa, tersenyum bangga. Tangannya mengusap rambut sang anak. "Makasih, ya."

Tanpa membalas ucapan pria itu, Fiqa duduk di atas sofa di dekatnya. Pandangannya menatap kosong arah di hadapannya.

Aji keluar dari dalam kamar dengan pakaiannya yang sudah berganti. "Kak, aku ke rumah bunda dulu, ya."

"Sama siapa?" Gio menoleh.

"Sopirnya Kakek." Anak itu menatap Fiqa dengan lembut. "Kakak tunggu sini, ya? Aku cuma sebentar."

Gadis itu mengangguk.

Gio menatap kepergian anak lelakinya dengan perasaan takut. "Fiqa .. Papa harus apa sekarang?"

Fiqa memalingkan wajahnya, tidak mau menatap pria yang kini duduk di sampingnya. Tanpa sadar, ia meneteskan air mata.


***


Aji berdiri di depan pintu rumah Nadya. Sebelumnya, ia sudah memberi kabar jika akan datang. Ekspresinya terlihat kesal ketika tahu siapa yang membukakan pintu untuknya.

"Kirain Opa udah pulang ke Medan," sapanya dengan senyum miring di wajah.

"Masuk." Pria tua itu mempersilakan.

"Nggak."

Nadya muncul dari dalam rumah. "Aji, sayang. Sini masuk. Di luar banyak nyamuk."

Anak itu menggeleng. "Aji gak takut nyamuk."

Wanita berhijab di hadapannya tersenyum hangat. "Ada apa?"

"Apa orang yang sakit hati bisa gak sadar sama apa yang udah dia lakuin?"

"Bisa. Kadang, orang sakit hati bisa melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. Kenapa? Kamu berantem sama Fanya?"

Aji menggeleng dengan cepat. "Ini masalah Kafi."

Nadya menatap kedua mata keponakannya. "Kenapa?"

"Kafi bilang sesuatu ke Aji yang belum pernah Aji denger sebelumnya." Matanya melirik Opa sekilas.

"Apa?"

"Sesuatu .. bagian dari masa lalu keluarga," ucapnya dengan ragu.

"Apa kamu yakin yang diucapin Fiqa merupakan bagian dari masa lalu keluarga?"

"Maksudnya?" Aji menatap bingung.

Nadya memalingkan wajahnya. Ekspresinya berubah. "Fiqa cuma lagi sedih aja."

"Udahlah, Aji. Gak usah ngurusin masalah orang dewasa. Kamu fokus sekolah aja," saut Opa.

Aji menatap kesal pria tua yang berdiri di samping Nadya. "Menurut Opa, Aji belum dewasa? Kalau pun Aji belum dewasa, apa Aji gak boleh tau tentang apa yang terjadi di keluarga Aji? Kenapa Opa selalu lebih mikirin pendidikan Aji? Takut Aji gagal dan malu-maluin Opa karena cuma Aji yang jadi penerus Alvarendra dari Opa?"

WasanaWhere stories live. Discover now