Bab 25

12.4K 1.4K 348
                                    

"Ji, kantin?" Dari bangkunya, Sean bertanya.

Gelengan kepala dari Aji menjadi jawaban. "Nggak, gua gak dikasih uang jajan."

"Oke, duluan, ya!" Sean merangkul Arnaldo dan berjalan pergi meninggalkan ruang kelas.

Aji pun menghampiri Fanya. "Hai!" Ditariknya bangku dari meja belakang tempat gadis itu duduk, yang kemudian ia tempati.

Fanya memutar bola matanya.

"Kemarin, Arion ke rumah. Nangis karena gak dibolehin Om buat lanjut sekolah di sini. Padahal, mereka masih dua tahun lagi baru lulus." Aji mulai bercerita.

"Lah, emang kenapa, Ji?" Cheryl yang tak sengaja mendengar, bertanya.

"Ya gak boleh." Anak laki-laki itu sedikit terkekeh.

"Bukannya sekolah di mana aja sama? Ada apa sama sistem sekolah ini?"

"Dia dari kecil, udah disiapin buat lanjut kuliah di luar. Makanya setiap hari ngomong Bahasa Indonesia-nya jarang. Tapi dia maunya ngikutin gua terus."

"Ikut-ikut, gak punya pendirian," cibir Fanya.

Melihat temannya, Cheryl menghela napas. "Lo gak disiapin kuliah di luar juga?"

"Nggak juga, sih. Disiapin kuliah di mana aja yang gue mau nanti. Rencananya mau ke Jepang, sekolah di sini juga karena ada Bahasa Jepang."

Fikri, si ketua kelas yang sejak tadi sengaja mendengar, menjawab, "Bilang aja karena gak mampu. Gue, bahkan seluruh siswa di sekolah ini juga tau kalau bokap lo bangkrut."

Ekspresi Aji berubah bingung. Sungguh, ia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh anak laki-laki di sampingnya itu.

Rania, teman sebangku Fanya, menoleh. "Lo kalau gak tau apa-apa, diem, deh!"

Kini, Aji menoleh ke arah Rania. Apa yang gadis itu tahu tentangnya?

Fanya yang duduk di antara Rania dan Aji, merasa bingung. Ditatapnya kedua mata sang kekasih dengan tatapan mengintimidasi.

"Apa yang Rania tau, tapi aku gak tau?"

Aji semakin dibuat bingung. "Hah?"

"Rania yang pendiem aja, bisa ngomong gitu, Ji. Jarang aku liat dia ngebelain cowok."

"Aku gak tau, Fan." Laki-laki itu menekankan tiap kata yang ia ucapkan, berusaha menbuat pacarnya percaya.

"Aji, ini buat lo." Sean memasuki ruang kelas dengan sepiring batagor di tangannya. "Gua tau lo suka banget sama batagor."

Yang disebut namanya, menoleh. "Eh? Gua kan gak mesen, Yan."

"Itu dari kita-kita, makan aja. Itung-itung gantian bayarin lo makanan, biasanya juga lo yang bayarin, kan?" Felix yang berdiri di belakang Sean, ikut berbicara.

"Banyak yang lebih mebutuhkan, kenapa kalian malah ngasih ke gua?" Aji mendongak, menatap ekspresi teman-temannya satu-persatu.

"Gak apa-apa, terima aja. Kita tau lo lagi dihukum gak dikasih uang jajan." Arnaldo menunjukkan deretan giginya.

Kini, anak laki-laki yang masih duduk di tempat semula itu tersenyum. Sekecil itu perhatian dari teman-temannya mampu membuat dirinya bahagia.

"Alah, bilang aja orang tua lo gak mampu ngasih uang jajan. Terus selama ini lo juga pura-pura kaya demi ditemenin sama temen-temen lo  yang matre itu." Tiba-tiba, Fikri kembali bersuara.

Hitungan detik, Damar sudah mencengkram kuat kerah seragam sekolah si ketua kelas, menjedotkan kepalanya ke salah satu sisi tembok ruang kelas. Disusul oleh pekikan dari  anak perempuan yang berada di dalam kelas.

WasanaWhere stories live. Discover now