Bab 41

6K 1.1K 577
                                    

"Kaela?!" Aji berusaha untuk berdiri yang langsung dicegah oleh sepupunya.

Gadis itu, Qila. Memakai atasan kaus berwarna coklat muda yang kedua bagian lengannya sedikit dilipat dipadukan dengan celana jeans berwarna biru dongker. Rambutnya diikat asal, dengan kacamata yang masih dibiarkan berada di bagian atas kepalanya.

Qila duduk di samping tubuh adiknya yang masih berbaring. Tatapannya terpaku pada luka di kening Aji. Iapun beralih menatap Fiqa, memeluk adik kembarnya. Tangannya terus mengusap pundak saudara kembarnya itu.

"Aku liat sendiri, dia lempar bolanya ke Dedek," ucap Fiqa dengan nada suara pelan.

"Yeah, me too." Raaya mengangguk seolah mengerti apa yang dibicarakan oleh Fiqa.

"Aku mau mukul dia," ucap Fiqa, melepas pelukan.

Lagi, Raaya berkata, "Me too." Iapun mengibaskan rambut pirangnya.

Qila menoleh ke arah Raaya, tertawa kecil. "Hei, love. How are you?"

Tiba-tiba, wajah anak kecil itu terlihat sedih seperti ingin menangis. "I'm sad."

"It's okay." Qila memeluk Raaya, terus berkata bahwa semuanya baik-baik saja.

"Dia udah nangis lebih dari tiga kali, Kak," ucap Aji.

Raaya menoleh ke arah lelaki itu. "Yup, me too."

Damar yang sejak tadi memerhatikan tingkah lucu anak itu, tertawa. "Lucu banget, gemes."

"Yeah, me too." Raaya menoleh ke arah Damar.

Aji tertawa. "Did you understand, love?"

Raaya mengangguk mantap. "Of course I did."

Gadis kecil itu berlari kecil menghampiri Asad dan berbisik. "To be honest, I had no idea what they were talking about."

Suaranya begitu keras hingga dapat didengar oleh semua orang yang berada di dalam ruangan. Mereka semua tertawa.

Asad tersenyum, memeluk sekilas adiknya. "It's okay. You did a good job!"

Kini, Raya meletakkan kedua tangannya di pinggang, mendongakkan dagu seolah merasa bangga karena dapat mengerti bahasa asing.

Rendra memasuki ruangan, mengajak Qila untuk berbincang secara rahasia. Hal itu dapat disadari oleh Aji karena kini keduanya sedang berbincang di salah satu sudut ruangan dengan nada suara yang sangat pelan hingga anak lelaki itu tak dapat mendengar apapun.

Qila kembali menghampiri kedua adiknya seraya tersenyum. Iapun menepuk tubuh Fiqa, mengajak gadis itu keluar. Semua sepupunya pun menyusul.

"Raaya, you stay right there, okay?" ucap Qila sebelum meninggalkan ruangan.

"Why? I'm not a baby anymore." Anak itu terlihat tidak suka. Menurutnya, ia bisa melakukan apapun bersama para sepupu.

"Because I need you," ucap Aji.

Kini, Raaya tersenyum manis. "Okay."

"Kaela?" panggil Aji, gadis itu mendekat.

"Iya? Ada yang sakit?" Jemarinya mengusap rambut hitam sang adik.

"Yang bikin Damar jatoh, jangan dimaafin ya, Kak," ucapnya dengan serius.

Qila mengangguk. "Iya."

Kakinya kembali melangkah menuju pintu, diikuti oleh Asad.

"Asad, stay with me, please." Raaya menatap ke arah pintu dengan tatapan memohon, membuatnya terlihat semakin menggemaskan.

Lelaki itu terkekeh, ia menutup pintu dan kembali menghampiri adiknya. Kini, ruangan itu hanya diisi oleh Damar yang duduk di atas ranjang, Aji yang masih berbaring, serta Raaya yang terus berlari ke sana ke mari. Para dokter yang membantu tadi, sudah keluar.

WasanaWhere stories live. Discover now