Bab 22 (2)

12.8K 1.2K 162
                                    

Aji memasuki kamar dengan wajah yang ditekuk.

"Kenapa lagi?" tanya Fiqa yang menyadari lebih dulu.

"Aku mau titip peralatan mandi aku di koper mama. Gak boleh sama papa."

"Mungkin udah penuh. Kamu bisa titip di kopernya Fiqa," ucap Qila yang masih sibuk merapikan isi kopernya.

Setelah meletakkan barangnya di dalam koper milik Fiqa, laki-laki itu menghampiri Qila. "Kira-kira, kapan Kakak wisuda? Aku udah gak sabar pengin kumpul bareng lagi di rumah."

Gerakan tangan Qila terhenti. Ada perasaan khawatir yang menyelimutinya. Takut jika ia tidak bisa wisuda sesegera mungkin.

"Dek, kamu urusin barang kamu aja. Gak usah ganggu Qila, deh." Fiqa terlihat sebal.

Pintu kamar yang semula tertutup, terbuka dari luar. Ada Gio yang kini berdiri di sana. "Aji, Papa mau bicara sama kamu."

Refleks, Aji mengenggam erat lengan Qila. Gadis itupun menyadarinya, pandangan matanya kini beralih menatap Gio.

Seakan tahu maksud dari anak pertanya, Gio tersenyum tipis. "Cuma ngobrol santai aja."

Kini, Qila menatap adik laki-lakinya. "Papa gak akan ngapa-ngapain kamu. Aku jamin."

Tepat saat Aji ingin beranjak pergi, Fiqa menarik laki-laki itu dan berbisik, "Jangan bahas apapun soal kejadian semalem. Anggap aja itu gak pernah kejadian. Ini hal sensitif bagi Qila sama papa."

Meski merasa bingung, Aji mencoba untuk mengerti. Ia tahu, ada hal yang memang tidak perlu untuk dicaritahu lebih dalam.

Kakinya kembali melangkah menuju kamar hotel kedua orangtuanya. Ada Gio yang sudah menunggu dengan duduk di atas kasur.

"Duduk."

Jantung Aji berdetak lebih cepat dari biasanya. Pendingin ruangan seakan tidak berfungsi, membuatnya berhasil mengeluarkan keringat. Berbicara dengan Gio dalam keadaan serius seperti ini adalah hal yang paling ia benci. Ia sangat takut melihat pria itu marah, terlebih karena ulahnya.

"Ada yang mau kamu sampein ke Papa? Papa tau kamu marah."

"Waktu kejadian Aji sama Fanya ketangkep kamera sekolah, Papa marah sama Aji. Kenapa Papa gak coba dengerin Aji? Papa gak mau ketemu sama Aji, kan? Sekarang Papa mau ketemu bahkan foto bareng sama Aji karena pencitraan di depan kakak, kan? Karena ini acara wisuda kakak."

"Tau darimana Papa marah?" Nada suara Gio terdengar tenang. Membuat Aji merinding.

"Setelah kejadian itu, Papa gak pernah makan malam di rumah lagi. Peraturan keluarga kita harus makan malam bareng, kan? Tapi Papa selalu punya cara, punya alasan biar bisa makan malam di luar." Dari tiap tekanan kata yang dikeluarkan Aji, dapat membuat lawan bicaranya tahu jelas jika anak itu sedang marah.

"Udah?"

"Kenapa Papa gak pernah ngertiin Aji sama kakak-kakak?"

"Mau dengerin penjelasan Papa?"

Aji mengangguk.

"Waktu kejadian kamu sama Fanya, Papa gak marah. Papa mengiyakan apa kata pihak sekolah karena di mata mereka, kamu salah. Papa yakin, anak Papa gak mungkin aneh-aneh sebelum waktunya. Mungkin kamu bingung karena di perjalanan pulang hari itu Papa cuma diem aja. Di situ Papa bingung, kaget, terharu. Anak laki-laki Papa yang dulu masih kecil, dikit-dikit ngadu ke kakaknya, selalu dilindungin kakaknya, sekarang udah besar."

Gio mengusap rambut Aji. "Sekarang, kamu udah punya pacar. Udah bisa jagain cewek lain. Udah bisa bikin masalah di sekolah sampe Papa dipanggil guru."

Pria itu menghela napasnya. "Kalau masalah makan malam, Papa beneran sibuk. Harus mastiin baju yang kita pake kemarin dijait dengan sempurna. Tapi, percuma juga Papa jelasin ke kamu. Semalem kamu tiba-tiba masuk ke sini, bilang benci Papa, terus pergi gitu aja."

"No, I don't hate you." Aji menatap serius wajah Gio. "Semalem Aji cuma emosi aja. Maaf."

Gio tersenyum, kembali mengusap rambut anaknya. "Papa yang harusnya minta maaf karena udah bikin kamu salah paham."

"Satu lagi, Pa. Kenapa Papa gak bolehin Aji nitip barang di koper mama?"

"Mama belum ngasih tau kamu?" Gio terlihat bingung.

"Apa?" tanya Aji yang tak kalah bingung.

"Sore ini kita ke bandara bareng. Pesawat Qila langsung ke Australia. Bunda, om, Arvin, Arion, sama Kak Zachra ke Jepang, mau ngerayain ulang tahun si kembar di sana. Opa satu pesawat sama Papa, mama ke Jakarta."

"Aji sama Kafi?"

Gio tersenyum lebar. "Kalian ikut pesawat bunda, ya."

"Maksudnya? Aji sama Kafi ikut ke Jepang?!"

"Ya itu kalau kamu mau. Sekaligus tanda permintaan maaf Papa karena udah bikin kamu salah paham."

Aji berteriak histeris. Dipeluknya Gio dengan erat. "Makasih, Pa! I love you!"

"Giliran kayak gini, love you. Kalau semalem, hate you," ucap Mel yang tiba-tiba saja memasuki kamar.

Aji melepas pelukannya dan menunjukkan deretan giginya.

"Ini Hari Senin. Kamu izin lanjut sampe jum'at. Sampe Indonesia paling sabtu atau minggu," ucap Mel.

"Okay, thank you, Mom!" Aji mengecup pipi Mel, sekilas. Kemudian berlari keluar kamar dan menuju kamar kedua kakaknya.

"KAFIII KITA KE JEPANG!" teriaknya tepat ketika memasuki ruangan.

"Baru tau?" Fiqa tertawa.

"Iya! Oh my God!"

Qila ikut tertawa. "Have fun, guys."

Aji menatap Qila dengan bingung. "Kenapa Kakak gak ikut?"

Fiqa membuka suara. "Tadinya udah ditawarin papa, tapi gak mau."

"Mending aku kuliah, biar bisa cepet lulus. Nanti kita bisa kumpul lagi di rumah," ucap Qila.

"Kerja atau lanjut kuliah, Kak?" tanya Aji dengan serius.

"Lanjut! Pokoknya lanjut. Aku sama Qila harus dapet kampus yang sama nanti. Kalau bisa di luar lagi." Fiqa tersenyum, membayangkan bagaiman serunya bisa satu kampus dengan saudara kembarnya.

"Aku, sih maunya kerja aja. Liat nanti aja, masa depan gak ada yang tau."

"Kak." Aji menghampiri Qila. "Nanti, kita ke Jepang bareng, yuk? Pasti seru. Kita bertiga ke Jepang, lanjut ke Korea, terus ke negara impian Kaela."

Qila tersenyum. "Iya. Kalau ada umur."

"Ih, Kakak! Kenapa ngomong gitu? Aku suka Jepang, Kafi suka Korea, Kakak sukanya negara mana? Kayaknya aku gak pernah denger Kakak mau ke negara mana."

"Umur gak ada yang tau, Dek." Qila terkekeh. "Aku sukanya Indonesia."

"Percuma, Dek. Qila itu cinta banget sama Indonesia. Gebetannya waktu kecil itu udah jadi tentara."

"Oh, ya? Siapa?" Aji terlihat penasaran.

"Varrel?" Qila tertawa. "Aku gak pernah jadiin dia gebetan, tuh. Dia juga bukannya udah nikah, ya?"

"Kalau gitu, siapa, tuh? Yang waktu SD jagain kamu banget. Temen deket kamu. Suka main sama Aji juga."

"Rakha?"

"Iya! Dia udah nikah juga?"

Ekspresi Qila berubah datar. "Bahkan, aku gak tau kabarnya dia gimana sekarang. Terakhir komunikasi waktu perpisahan SD. Dia bilang mau pindah ke Surabaya."

"Kok aku gak kenal dua nama itu?"

"Kamu masih kecil waktu itu. Belum ngerti apa-apa," ucap Fiqa.

"Yang penting, Minggu aku mau main sama Fanya." Aji menunjukkan deretan giginya.

"Jangan lupa belajar." Qila mengingatkan.

"Siap, bos!"

*

17 Februari 2020

WasanaWhere stories live. Discover now