Bab 26

10.2K 1.4K 618
                                    

Sore ini, Aji pulang ke rumah bersama dengan Gio yang sengaja menunggu di sekolah hingga jam pulang sekolah tiba. Pria itu memang sengaja ingin memiliki waktu lebih banyak bersama dengan anak laki-lakinya.

"Damar itu Papa waktu SMP." Gio tersenyum. "Ngerasa paling oke, paling keren, paling jago, paling baik dari segala aspek."

Aji menoleh. "Papa punya sahabat deket?"

Pria itu menggeleng. "Dari kecil sampe SMP, Papa selalu pindah. Ngikutin ke mana Opa dinas. Papa hampir gak pernah ngerasain rasanya punya sahabat."

"Pindah-pindah sekolah pasti rasanya gak enak ya, Pa?" Anak berseragam putih abu itu menyandarkan tubuhnya.

Anggukan dari Gio merupakan jawaban. "Tapi Papa mencoba terus beradaptasi sama lingkungan baru. Dua bulan lalu Papa ada di Sulawesi, bulan ini bisa udah di Jawa, tiga bulan berikutnya Papa bisa ada di Kalimantan. Secepat itu. Harus bisa sama bahasa daerah baru yang kadang, Papa belum pernah denger sebelumnya."

"Serius dua bulan sekali, Pa?"

"Nggak, itu cuma perumpamaan aja. Papa juga lupa tepatnya berapa, mungkin enam bulan sekali paling cepet."

"Gimana sama nilai pelajaran Papa?" Aji kembali menatap dengan penasaran. Ia tidak pernah mendengar kisah tentang masa sekolah Gio dari pria itu secara langsung sebelumnya.

"Opa itu perfeksionis. Papa harus dapet nilai sempurna."

"Gimana kalau Papa udah berusaha tapi nilainya tetep jelek?"

"Opa gak peduli. Dari ikat pinggang sampe rotan, apa aja, bisa melayang." Gio terkekeh, teringat saat-saat ia merasa takut untuk pulang ke rumah. Saat di mana ia tidak menemukan definisi rumah pada bangunan yang ia tempati.

"Papa hebat. Aji bangga." Anak itu menunjukkan senyumnya. Senyum yang sangat mirip dengan sang ayah.

"Hebat kenapa?" Pria itu tersenyum kecil.

"Guru di sekolah lama Aji bilang, lepas dari lingkaran kebiasaan buruk keluarga itu susah. Tapi Papa berhasil." Aji terus tersenyum. Merasa sebegitu bangganya dengan sosok yang ditakdirkan dengan ayahnya. Pria hebat yang tidak pernah bermain fisik dengan anak-anaknya.

Gio hanya tersenyum tipis. Sangat tipis. Nyaris tidak terlihat. Bahkan Aji tidak menyadari tatapan pria itu yang  kini terlihat sendu.

"Gimana sama Bunda, Pa?"

"Apa?"

"Bunda waktu di sekolah."

"Bunda gak kuat. Bertahun-tahun jadi korban bully." Ada nada sedih yang terdengar jelas.

Aji tertegun. Nadya di matanya adalah sosok yang selalu terlihat ceria, selalu menjadi tempat curhat terbaik sepanjang masa. Ia tidak pernah tahu tentang masa lalu wanita itu.

"Pasti Papa sedih, ya?"

"Cowok harus kuat."

Anak itu mengangguk. Pandangannya kembali menatap lurus jalanan di depannya. Pada saat itu juga ia tersadar jika kendaraan yang ditumpanginya sudah sampai di dalam perumahan tempatnya tinggal.

Setelah membunyikan klakson, seorang pria membukakan pintu gerbang rumah. Senyum Aji pun terukir ketika menyadari ada mobil milik Nadya di sana. Dengan perasaan gembira, ia turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.

Anak itu memberi salam.

"Kamu udah pulang? Kan belum dijemput." Fiqa turun muncul dari lantai atas. Pandangannya beralih pada Gio. "Oh, dijemput Papa."

Mel datang dari arah dapur. "Bunda ada di gazebo. Kamu mandi dulu aja," ucapnya pada Aji.

Anak laki-laki itu mengiyakan dan melangkah menuju lantai atas.

WasanaWhere stories live. Discover now