Bab 27

12.2K 1.5K 294
                                    

Aji memerhatikan beberapa bingkai foto yang berada di ruang tamu rumah Kakek. Di atas sebuah buffet berwarna coklat, terdapat potret dirinya saat masih kecil. Di sebelahnya, juga ada potret kedua kakaknya dan sepupunya.

Di sebelahnya lagi terdapat potret dirinya saat masih duduk di sekolah dasar yang dipajang bersebelahan dengan potret sepupunya. Ia baru menyadari jika Kakek memajang foto para cucunya sesuai tingkatan pendidikan.

Aji melangkah mundur satu langkah. Diperhatikannya tiap foto dengan sangat teliti. Keningnya mengernyit bingung saat menyadari tidak ada foto kedua kakaknya saat duduk di sekolah dasar.

Pandangannya pun beralih menatap bingkai foto yang ukurannya lebih besar dan menempel pada dinding rumah. Ada potret keluarganya di sana. Kedua orang tua yang tersenyum, Fiqa yang berdiri bersebelahan dengan Qila dengan pakaian yang berbeda, juga dirinya yang berada dalam gendongan Gio.

Fiqa tersenyum lebar. Di sebelahnya, Qila memegang piala dengan senyuman yang terlihat sedikit aneh. Kedua mata Aji kembali memerhatikan senyuman kakak pertamanya itu waktu kecil. Terlihat perbedaan yang sangat jelas.

"Itu foto keluarga kamu waktu Kaela menang lomba pertama kali." Nenek mendekat dan tersenyum.

Aji menoleh, ikut tersenyum. "Iya, gaun yang Kaela pake, masih dipajang di rumah sampe sekarang."

Nenek menatap potret keluarga kecil anaknya dengan tatapan sendu.

"Nenek sedih?"

Wanita tua itu menoleh. Mengusap puncak rambut cucu laki-lakinya.

"Kenapa, Nek?"

Suara tangisan Fiqa yang menjerit, terdengar. Membuat Aji dan Nenek bergegas menghampiri gadis itu.

"Kasian Qila, Kakekkk!" Fiqa histeris.

Pria itu terlihat berusaha menenangkan cucunya. "Iya, Kakek ngerti. Kamu yang tenang."

"Kak, pelan-pelan. Ini udah malem." Aji memeluk gadis itu.

"Aji, coba jelasin ke Kakek. Ada apa? Kafi cuma nangis aja daritadi." Kakek memijat pangkal hidungnya.

Anak laki-laki itu menghela napas. "Opa minta papa buat gak lanjut kirim uang ke Kaela. Kafi marah karena papa, mama, sama bunda diem aja. Opa juga ngatain Kaela manja."

Nenek terlihat sebal. "Papa kamu itu, dari dulu sifatnya gak berubah. Opa bilang A, diikutin, Opa bilang B, diikutin. Gak mikirin dulu gimana keluarganya. Terima begitu aja saran dari Opa tanpa pertimbangan lebih dulu."

"Padahal Kaela itu mandiri banget, Nek." Aji menimpali.

"Opa kamu terlalu ikut campur urusan keluarga anaknya. Lihatlah Nenek sama Kakek, kalau bukan karena kalian yang ke sini, Nenek juga gak mau ikut campur."

"Nek, gak usah memperkeruh suasana." Kakek mengingatkan.

"Nenek cuma bicara fakta." Iapun duduk di salah satu sofa.

Pria tua itu menghela napasnya. "Fiqa tenang aja, ya? Kakek pasti bantu Qila. Kakek bisa kirim uang ke dia lebih banyak dari uang yang biasa papa kasih. Kakek juga akan bayar biaya kuliah dia di sana."

Fiqa melepas pelukannya dengan Aji. "Kakek punya uang?"

Yang ditanya pun mengangguk dengan yakin.

"Pipi kamu kenapa?" Nenek memberikan tatapan penuh tanya.

"Ditampar Opa," jawab Aji dengan nada kesal.

Nenek hendak bersuara ketika Kakek meminta istrinya itu untuk menemani cucunya masuk ke dalam kamar.

WasanaWhere stories live. Discover now