Bab 17

9.8K 1.1K 95
                                    

"Aji?"

Laki-laki itu membuka matanya. "Iya?"

"Kamu ... pernah dipukul sama orang tua kamu atau ... kakak kamu?"

Fanya yang menunduk tidak menyadari ekspresi terkejut Aji. Anak laki-laki itu terdiam. Lidahnya seakan kelu untuk menjawab pertanyaan yang begitu sederhana itu.

Aji menegakkan posisinya. "Nggak."

Jawaban itu membuat gadis di depannya mendongak, menatap tak percaya. Ada perasaan tidak terima di dalam dirinya. Seharusnya, anak laki-laki mendapat didikan lebih keras dari orangtuanya.

"K-kok bisa?"

Pertanyaan itu membuat Aji merasa bingung. Kedua alis tebalnya menyatu, merasa aneh dengan pertanyaan sang kekasih.

"Menurut aku, ini topik yang sensitif. Karena aku tau di luar sana, banyak yang orangtuanya keras. Keluarga aku sendiri bukan yang seperti itu. Orangtua papa cuma punya dua anak, kembar. Papa yang pertama dan bunda adik kembarnya.

"Karena itu, Kaela, meskipun kembar sama Kafi, tapi dia cucu pertama. Jadi,  Kaela yang ngawasin cucu lainnya. Terserah dia mau marah, ngasih hukuman atau apapun, papa, mama, bunda bahkan suaminya gak akan marah." Aji terkekeh sesaat. "Enak, ya jadi Kaela? Dia ngomong apa aja didengerin."

Kini, Fanya yang kembali menunduk, berdecak. "Bukan itu yang aku tanya."

"Oh, masalah main fisik? Sama seperti yang aku bilang tadi. Kaela yang memutuskan. Untungnya, dia gak pernah main tangan. Diliatin tanpa kedip aja udah bikin aku sama yang lain takut. Papa juga pernah bilang, anak itu harus disayang, bukan dikasarin. Karena orangtua yang mengharapkan kehadiran anak."

Masih dalam posisi yang sama, Fanya kembali bertanya, "Kalau kakak kamu gimana?"

"Nggak." Aji tampak berpikir. "Gak tau, sih. Tapi kalau liat cara berpikir papa dan sikapnya yang sayang banget sama keluarga, harusnya nggak."

Gadis itu merasakan sesak yang begitu hebat. Selama ini, ia mengira setiap anak akan mendapatkan perlakuan kasar dari kedua orangtuanya. Seharusnya, ia terlahir sebagai anak di keluarga Aji.

Suara bel tanda berakhirnya istirahat makan siang terdengar. Sepasang kekasih itu bergegas menuju kelas mereka. Ketika sudah sampai di depan kelas, Aji mendekati wajahnya pada telinga Fanya.

"Pulang sekolah, ke tempat tadi lagi. Aku belum ngomong."

Gadis itu mengangguk dan duduk di tempatnya. Disusul oleh Aji yang berjalan ke arah belakang kelas, tempat di mana bangkunya berada.

Tangan kanannya menopang dagu ketika duduk. Otaknya dipaksa kembali berpikir tentang kemungkinan apa saja yang terjadi jika ia mengakhiri hubungannya dengan Fanya.

***

"Ji, mau pulang kapan?"

Felix menoleh ke arah teman sebangkunya, Aji yang sedang sibuk dengan gawainya.

"Ji?"

Si pemilik nama menoleh. "Sorry, gue gak bawa motor hari ini. Udah gue pesenin ojek, lo ke depan aja langsung. It's okay, kan?"

Felix merasa bingung. "Duh, Ji. Gue bisa jalan. Gak enak kalau naik ojek tapi lo yang bayarin."

Aji menatap temannya itu. "Papa nyuruh gue pesenin." Kepalanya kembali menatap layar gawai. "Udah di depan, tuh. Hati-hati, ya!"

WasanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang