Runtuh 26

9.4K 399 66
                                    

Keesokan harinya Sarah kembali ke rumah sakit sendiri, Andi tidak ikut karena memang dia melarangnya. Selama empat tahun Andi selalu mengikutinya kemana pun dia pergi dan sekarang mereka tengah pulang kampung, jadi Sarah ingin Andi menghabiskan waktunya bersama keluarga yang dia rindukan.

Saat sampai di rumah sakit ternyata eyangnya baru saja dipindahkan ke ruang inap, Sarah pun segera menuju ruang inap tersebut. Di ruangan itu ternyata juga sudah ada papanya. Suasana menjadi sangat canggung.

“Sarah, kamu datang.” Itu adalah kalimat pertama yang dia dengar keluar dari mulut papanya sejak semalam dia datang.

“Hmm.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya.

Sarah berjalan menuju kursi yang ada di samping ranjang, dia genggam tangan eyangnya dengan lembut. Banyak kabel-kabel dan selang oksigen yang dipasang untuk menopang hidup eyangnya.

Hening.

Tidak ada yang membuka percakapan lagi setelah itu. Papanya masih sibuk menatap layar laptopnya, sedangkan Sarah sibuk menatap eyangnya yang tengah tertidur.

Suara dering telepon memecah keheningan di ruangan itu, Sarah merasakan papanya keluar dari ruangan itu saat mendengar suara pintu ditutup, tak lama kemudian pria itu kembali.

“Sarah.” Tanpa menjawab Sarah menoleh saat papanya memanggil. “Papa harus pergi, apa kamu gak keberatan menjaga Eyang sendiri?”

“Enggak.”

“Kalau begitu Papa tinggal dulu, gak papa?”

“Iya.”

Wira tersenyum tipis. Ada rasa yang tidak bisa dia gambarkan melihat sikap dingin putrinya. Oh tentu saja, dia sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal hingga putrinya itu sangat membencinya.

Sarah mendengar papanya tengah membereskan barang-barangnya.

“Kalau gitu Papa pergi dulu.” Wira tersenyum miris karena putrinya tak mau menjawab perkataannya. Setelah itu Wira pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Berjam-jam Sarah lalui seorang diri sambil menunggu sang eyang sadar. Dia hanya mengisi waktu kosongnya dengan menonton televisi yang ada di ruangan itu atau membuka sosmed.

Jam menunjukkan pukul dua belas siang, perutnya sudah mulai lapar. Dia mulai mengotak-atik ponselnya, ingin memesan makanan, tapi tiba-tiba pintu ruang rawat dibuka, tubuh Sarah membatu di tempatnya saat melihat orang yang membuka pintu.

“Hai.” Sapa orang itu.

“Lo, ngapain di sini?” tanyanya sinis.

“Aku disuruh papa nganter makanan buat kamu.” Sena mengangkat kantong plastik yang dia bawa. “Aku udah bawa makanan buat kita.”

Kita?

Sudah lama tidak ada kata 'kita' diantara mereka berdua.

Sena duduk di sofa, lalu menata makanan yang dia bawa. “Ayo, kamu gak mau makan?”

Sarah masih duduk di tempatnya, menatap Sena dengan tajam. Laki-laki itu masih bisa bertingkah biasa saja, seperti tak punya dosa.

“Sar, ayo.”

Bahkan laki-laki itu masih bisa menyebut namanya dengan santai.

Perlahan Sarah bangkit dari duduknya dan duduk di sofa depan Sena. Sarah mengambil makanan yang sudah disiapkan Sena, kemudian menyantapnya. Mereka makan dalam diam.

“Kamu apa kabar, Sar?”

Mata Sarah kembali menatap Sena, kali ini dengan tatapan datar. “Seperti yang lo lihat, gue baik.”

Runtuh : Luka dan Cinta (Terbit)Where stories live. Discover now