#2 -- Mimpi

8.8K 383 2
                                    

Tidaaakk.....

Jangaaaan......

Lepasin......

Tolong.... hmmpph....

Andini terengah-engah. Peluh membasahi keningnya. Air matanya pun mengalir. Jantungnya berdebar dengan keras. Andini gemetar, lalu menekuk lututnya, menenggelamkan kepalanya. Ia kembali menangis. Mimpi itu datang lagi.

***

"Ternyata kuliah di sini enak juga ya, Din. Tempatnya asri banyak pohon-pohon biarpun di metropolitan." Sinta tampak menunjukkan kalau dirinya merasa betah.

Andini menanggapinya dengan senyuman. Sudah seminggu sejak Sinta resmi menyandang gelar mahasiswa di kampusnya.

Sinta menatap wajah saudaranya itu. Andini memang banyak berubah. Setelah tinggal serumah, Sinta jadi tahu kalau Andini sekarang jadi lebih pendiam. Kadang wajahnya pun terlihat mendung tanpa ada alasan yang jelas. Sebelumnya Andini tak seperti itu.

Dia berbeda. Sungguh berbeda. Aku seakan kehilangan sosok ramah dan cerianya. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya, namun kupastikan aku akan segera tahu.

Andini dan Sinta terkejut saat seseorang menghadang langkah mereka.

"Mau kamu apa sih?" Andini terlihat kesal.

"Din, tolong jangan menghindar terus..." ujar lelaki itu dengan wajah setengah frustasi.

Sinta melirik sebelahnya. Tampak wajah gusar Andini.

"Langit, aku sudah berkali-kali bilang sama kamu kan kalau aku nggak bisa."

"Kenapa?"

"Banyak hal yang kamu nggak ngerti."

"Kalau aku nggak ngerti tolong jelasin." desaknya.

Sinta hanya menatap mereka berdua dengan pandangan penuh tanya. Ada apa sebenarnya? Siapa cowok ini?

Andini langsung menarik tangan Sinta. Gadis itu terkejut. Dia tergesa mengikuti langkah Andini.

"Ada apa sih? Dia siapa?"

"Namanya Langit. Satu kampus juga sama kita. Dia anak hukum."

"Terus tadi...?" Sinta mengernyitkan dahi.

"Dia suka sama aku."

"Dan kamu nggak mau? Tapi dia ngejar terus?"

Andini menggangguk.

"Kenapa, Din?"

Andini hanya diam.

"Bukan karena kamu suka sama cowok lain?"

Andini menatap Sinta. Lalu perlahan menggeleng. Namun Sinta merasa tak yakin dengan gelengan kepala Andini. Sepertinya memang ada yang ditutupi saudaranya itu.

"Din, sebenarnya apa yang terjadi? Kamu terlihat berbeda." Sinta pelan-pelan menanyakan hal itu saat wajah Andini sudah kembali cerah. Dia berharap Andini mau bercerita padanya.

"Maksud kamu?" Andini terlihat terkejut dengan pertanyaan sepupunya.

"Ada yang kamu tutupi dari aku?"

Andini mendesah. "Kamu ini kenapa sih? Nggak ada apa-apa kok." Ia memalingkan wajahnya dari pandangan mata Sinta.

"Kamu jangan mikir aneh-aneh deh, Sin. Nggak ada apa-apa kok. Percaya sama aku."

"Aku ingin percaya sama kamu, tapi hatiku mengatakan lain. Aku tetap yakin ada yang kamu sembunyikan dari aku. Aku nggak akan memaksa kamu cerita, Din. Tapi aku yakin suatu saat aku akan tau jawabannya."

Andini terdiam.

Kamu benar, Sinta. Aku berbeda. Sungguh berbeda. Aku bukan aku yang dulu lagi. Aku tak bermaksud diam, aku hanya tak mungkin membagi lukaku pada siapapun.

***

RAPUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang