#26 -- Hampa

7.8K 287 70
                                    

Andini meringis sambil meremas bantal yang dipegangnya. Perutnya masih terasa begitu nyeri. Tadi pagi ia sempat mengalami pendarahan lagi karena nekat ingin bangun untuk menemui suaminya. Bagaimana pikirannya tidak kalut sementara kemarin ia mendengar vonis dokter yang begitu menohok hatinya? Bagaimana ia tidak histeris begitu menyadari keadaan suaminya yang berada di ambang hidup dan mati? Beruntung sekali lagi janin yang berada di rahimnya masih bisa dipertahankan. Andini pun didaulat untuk istirahat total, bila perlu jangan sampai turun dari tempat tidur. Sementara hatinya meronta karena ia ingin mendampingi suaminya melewati masa-masa sulit. Ia harus optimis. Ia harus kuat. Ia tidak boleh bertindak egois. Bukankah impian mereka kini telah terwujud? Buah hati yang begitu mereka idamkan telah tumbuh di rahimnya dan Andini sangat ingin suaminya bangun untuk mendengar kabar bahagia ini.

"Mas Satya.. aku hamil, Mas. Aku hamil... Cepat bangun..." lirihnya sambil mengelus perutnya dengan mata berkaca-kaca.

Satu kesadaran telah memukul telak hatinya. Andini harus jujur mengakui pada dirinya sendiri bahwa ia tak bisa apa-apa tanpa suaminya. Ia tak bisa apa-apa tanpa Satya. Seakan nyawanya hilang separuh. Rasanya begitu sesak, dingin, sepi, dan kosong. Andini merasakan kehampaan yang luar biasa.

***

"Kamu tenang aja. Mama sama Langit yang akan gantian jagain Mas Satya. Kamu cukup jagain baik-baik anak kalian. Ini bukan sepenuhnya salah kamu, Din. Percayalah. Mas Satya pasti akan sedih kalau tau keadaan kamu kayak gini. Sekarang istirahat ya biar nggak lemes lagi." Sinta menaikkan selimut hingga ke dada Andini.

Setetes cairan bening jatuh dari sudut mata Andini. Ia terpaksa tak bisa menemani suaminya. Ia terpaksa hanya diam di rumah. Rumah orang tuanya. Semua keluarga, baik orang tuanya, mertuanya, maupun Sinta, memaksa agar sementara ia kembali tinggal di rumah lamanya. Mereka tak mau ambil resiko Andini akan tinggal sendirian di tengah kondisi kehamilannya yang bisa dikatakan sangat rentan.

"Kenapa harus seperti ini, Sin? Kenapa Tuhan kasih cobaan sampai seperti ini? Salahku apa, Sin? Dosaku apa? Kenapa harus Mas Satya?" Isak Andini.

Sinta mengelus bahu iparnya. "Jangan pernah menggugat Tuhan. Semua yang terjadi pasti ada alasan tersendiri. Semua yang terjadi pasti ada hikmah di baliknya. Contohnya ini..." Tangan Sinta mengusap sekilas perut Andini. "Dia hadir untuk menguatkan kamu. Jadi kamu tetap harus banyak bersyukur."

Sinta benar. Kamu pasti hadir untuk menguatkan kami, Nak. Doakan ayahmu agar bisa segera berkumpul kembali dengan kita. Dia pasti akan bahagia kalau tau kamu ada di sini.

"Lucu ya.. kita bisa hamil barengan gini.. Berasa kayak soulmate gitu." Sinta tersenyum berusaha mengalihkan kesedihan Andini.

Andini mengangguk. Ikut tersenyum walaupun samar.

"Kamu ngidam apa? Kemarin pas datang aku lihat wajah Langit agak kusut gitu?" Andini akhirnya bersuara menanggapinya.

"Oh.. hehehe.." Sinta meringis. "Ceritanya sih Langit lagi mupeng, tapi aku beberapa hari ini selalu mual kalo nyium bau keringat dia. Alhasil dia jadinya mandi tengah malam. Mana mandinya lama banget lagi sampai aku ketiduran. Mungkin nggak cuma mandi kali ya..." Sinta kembali meringis dengan nada bicara yang menyiratkan sesuatu. "Eh tadi pas bangun subuh malah aku lihat dia njingkrung di sofa. Kasihan juga sih lihatnya."

Andini tersenyum lebih lebar. "Langit masih belum puas kali bulan madunya.. kamu udah keburu hamil duluan."

Sinta terbahak. "Lha kan dia juga yang kayak orang kalap lagi kejar setoran."

Andini membulatkan matanya dan tanpa sadar ikut tertawa.

Syukurlah kamu masih terhibur, Din.

Sinta sempat begitu khawatir karena selama beberapa hari dirawat di rumah sakit ia sering melihat pandangan mata kakak iparnya yang kosong. Ia mengakui memang cobaan yang dihadapi Andini selama ini tidaklah mudah. Mulai dari kejadian kelam dengan kakaknya yang meninggalkan trauma, pernikahan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, hingga impian memiliki anak yang tak kunjung kesampaian. Ironisnya saat impian itu terwujud, suaminya justru terbaring koma sebelum mengetahui kehadiran sang buah hati di rahimnya.

***



You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 01, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RAPUHWhere stories live. Discover now