#6 -- Kenyataan Pahit

7.2K 329 0
                                    

"Katakan sesuatu, Andini." pinta Satya saat Andini masih tetap diam. Ia sengaja menunggu gadis itu pulang kuliah. Mungkin keberuntungan sedikit berpihak padanya, Andini pulang sendiri, entah di mana adiknya.

"Bukan salah Mas Satya. Aku juga salah." ucap Andini pelan. Sebenarnya Andini tak ingin mengingat-ingat masa lalu lagi. Ia berjuang mati-matian untuk terlihat tegar di depan Satya.

"Aku benar-benar merasa berdosa padamu. Aku khilaf, Din." Satya berusaha mendekat namun Andini justru mundur menjauhinya.

"Cukup, Mas! Aku nggak mau dengar lagi!"

Sinta tersentak. Khilaf? Apa maksud Mas Satya mengatakan kalimat itu?? Mustahil ini bukan sesuatu yang serius. Kenapa Andini seakan menahan amarahnya? Apa sebenarnya yang terjadi antara mereka?

Sedari tadi Sinta berusaha menahan diri untuk tidak masuk ke dalam saat mendengar suara Andini dan kakaknya. Dia berharap akan menemukan jawaban atas rasa penasarannya.

"Aku nggak bisa maafin kamu!!! Kamu sudah menghancurkan hidupku!" seru Andini.

Satya terduduk lesu. Andini beranjak meninggalkan Satya dengan air mata tak dapat lagi ditahannya. Satya hanya diam tertunduk.

Sementara itu di luar, jantung Sinta berdetak begitu keras. Andini semarah itu... Andini semarah itu... Sinta tak sanggup diam lagi. Ia bergegas masuk. Dilihatnya lelaki itu hanya duduk tertunduk dengan wajah merah. Sinta menghampiri kakaknya.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Aku menangkap keganjilan pada diri kalian berdua. Ternyata memang benar kan ada sesuatu yang kalian sembunyikan. Ada apa, Mas?" desak Sinta.

Satya menatap adiknya. Dia hanya menggeleng.

"Kenapa sih kalian nggak pernah mau bicara?"

Sinta menguatkan hatinya saat kakaknya tetap saja bungkam.

"Kesalahan apa yang telah Mas Satya lakukan pada Andini? Aku dengar semuanya tadi, Mas! Aku dengar semuanya!" teriaknya.

Satya tercengang melihat adiknya. Di dalam kamar, Andini pun bisa dengan jelas mendengar teriakan Sinta. Andini bergegas keluar. Dilihatnya Sinta sedang bersitegang dengan Satya.

"Sinta, cukup!" seru Andini.

Sinta dan Satya terkejut saat Andini tiba-tiba muncul.

"Kalian nggak perlu bertengkar seperti ini!"

"Aku cuma mau tau apa yang terjadi, Din. Apa itu salah? Aku peduli sama kamu. Kamu berubah, Din.. Kamu bukan Andini yang ceria seperti yang kukenal dulu. Aku kemari bukan tanpa alasan.. aku ingin kamu kembali jadi Andini yang dulu." ucap Sinta.

Mata Andini kembali berkaca-kaca. "Andini yang dulu sudah mati, Sinta..."

"Din..." Sinta menggelengkan kepalanya.

"Aku yang telah membunuhnya." ucap Satya dengan suara serak.

Sinta terkejut. Ditatapnya wajah sang kakak yang terlihat begitu frustasi.

"Kenapa, Mas? Kenapa, Din?"

"Aku.. sebenarnya aku... " Andini tergagap. Dia tak mampu melanjutkan kata-katanya, namun matanya semakin basah.

"Maaf, Andini... maaf..." Satya langsung berlutut.

"Mas..." Sinta menatap kakaknya.

"Aku lelaki bejat, Sinta.. Aku lelaki brengsek tak punya hati.. Aku tega memperkosa Andini... Aku berdosa..."

Sinta tercengang mendengar kata-kata kakaknya. Entah kekuatan dari mana tiba-tiba dia mengayunkan tangan ke wajah kakaknya.

Plakk!!!

"Keterlaluan!!! Aku malu punya kakak seperti Mas Satya!"

Air mata Sinta mengalir deras. Ia mencoba menghampiri Andini yang masih berdiri terisak-isak. Tiba-tiba Satya menubruk kaki Andini.

"Maafkan aku, Din. Aku khilaf."

Andini tetap tak bergeming. Kedua tangannya memeluk erat tubuhnya sendiri.

Sinta masih tak habis pikir dengan kelakuan kakaknya. Rasanya antara percaya dan tidak dengan kenyataan yang baru saja didengarnya. Kakak yang selama ini begitu menyayanginya, tega berbuat sekeji itu pada saudara sepupunya sendiri. Dia ikut merasa bersalah pada Andini.

Jadi inilah alasan kenapa selama ini Andini bungkam? Andini pasti ingin menjaga perasaanku, hubungan keluarga kami, sehingga memendam semuanya sendirian.

Andini mendorong tubuh Satya, lalu meninggalkan mereka. Satya masih belum berdiri walau Andini telah pergi.

"Kapan kejadiannya?" Tanya Sinta dingin.

Satya mendongak. "Saat Andini liburan di rumah kita."

"Sudah kuduga."

"Apa sih yang waktu itu ada di pikiran Mas? Teganya Mas Satya berbuat nista pada Andini. Kalau Mas menyukainya, bukan dengan cara kotor seperti itu." Sinta menurunkan suaranya.

"Aku memang cowok bejat, Sin. Aku sama sekali tak pantas menjadi kakakmu."

Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut Satya sebelum dia pergi meninggalkan rumah Andini.

***

RAPUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang