#23 -- Pulang

9.9K 343 16
                                    

"Udah cantik, Sayang."

Andini yang sedang mematut diri di cermin tersipu saat Satya memeluk bahunya dari belakang.

"Kok cuma Andini sih yang dipuji, Mas? Kan aku pengantinnya." Celetuk Sinta.

"Ngapain Mas muji kamu? Tuh suamimu di luar. Suruh aja dia yang muji."

"Ih, suka gitu deh sama adik sendiri." Sungut Sinta, walaupun akhirnya dia jadi senyum-senyum sendiri. Mungkin teringat kalau statusnya kini sudah berubah.

Ya! Tadi pagi akad nikah antara Sinta dan Langit telah dilaksanakan di kediaman orang tua Sinta di Jogja. Malam ini juga resepsi digelar di gedung yang berada di pusat Kota Gudeg itu. Sinta sungguh tak menyangka kalau akhirnya hatinya akan berlabuh pada sosok Langit. Sahabat jadi cinta, mungkin istilah yang tepat. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana Satya membantai Langit dengan kata-katanya, bahkan mengungkit-ungkit perasaannya pada Andini, sampai-sampai justru kakaknya itu berdebat sendiri dengan istrinya. Sinta pun sempat kesal dibuatnya. Namun Langit dengan mantap meyakinkan kakaknya kalau ia mencintai Sinta dan sungguh-sungguh ingin menikahinya. Bahkan rasanya menghadapi orang tua Sinta tak setegang menghadapi Satya.

Lain Sinta, lain pula pikiran Andini. Ia teringat beberapa hari lalu saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah mertuanya selepas mereka menikah. Wajah tegang Satya tak dapat ditutupi. Mama Lastri menyambutnya hangat dan langsung memeluk dan menciumi putranya yang selama hampir dua tahun tak ditemuinya. Namun sikap Papanya masih terkesan dingin pada Satya, walau terhadap Andini tak berkurang pula kehangatannya seperti ketika dulu Andini masih berstatus keponakannya.

"Dini.. kamu bahagia, Nak?" Tanya Papa mertuanya saat Andini mengantarkan minuman ke ruang kerjanya.

Andini tersenyum. "Bahagia, Pa.. Dini sangat bahagia. Mas Satya adalah suami yang baik. Papa... Dini mohon,tolong maafkan Mas Satya."

Pak Handoko berdiri dan memeluk menantunya. "Papa lega kamu bahagia, Nak. Papa akan lakukan apa yang kamu minta."

"Sayang, ngelamunin apa sih? Ayo keluar, tamu udah banyak yang datang. Sinta kan udah ada yang ngurus."

Andini mengangguk, menggenggam tangan suaminya.

"Sin, aku keluar dulu ya. Tenang, nggak usah nervous."

Sinta hanya meringis. Mana mungkin nggak nervous sih acara besar begini?

***

"Sayang, kamu udah tidur ya?" Satya mengelus bahu istrinya.

"Apaan sih, Mas?" Andini membalik tubuhnya menghadap suaminya. "Aku capek banget tadi. Ngalahin capeknya pas acara pernikahan kita. Lagian ini kan udah malam banget.. Mas, nggak bisa tidur?"

"Iya."

"Jangan minta yang aneh-aneh lho! Aku capek!" Andini mendelik.

Satya tersenyum, lalu mengecup kening istrinya dengan gemas.

"Nggak, Sayang. Aku tau kamu capek. Cuma..."

"Cuma apa?"

Satya mendesah. "Kok Papa tiba-tiba berubah baik sama aku ya?"

Andini tersenyum. "Papa kan emang baik, Mas."

"Iya. Tapi kan Papa marah besar sama aku. Kita datang pas lebaran aja, gerbang malah dikunci rapat."

"Siapa tau Papa udah nggak marah lagi, Mas."

"Kemarin itu pas kita datang, sikap Papa dingin banget sama aku. Tapi tadi mendadak berubah baik seperti dulu."

"Mungkin kemarin Papa masih canggung karena lama nggak ketemu, Mas. Ya udah, Mas jangan mikir macam-macam. Kan mestinya kita bersyukur kalau Papa udah kembali seperti dulu."

Andini membelai wajah suaminya. "Tidur ya..."

Satya mengangguk. Merapatkan tubuh mereka. Tangannya bergerak memeluk istrinya.

Mata Andini terpejam. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum.

Terima kasih, Papa...

***



RAPUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang