#14 -- Kita

6.1K 274 1
                                    

Satya mengutarakan niatnya kepada mertuanya dengan hati-hati. Ia sudah memantapkan diri andaikan mertuanya tidak menyetujui. Andini anak tunggal, pasti berat melepasnya. Apalagi menilik riwayat pernikahan mereka, pastilah mertuanya menyangsikan kebahagiaan putri mereka.

"Pa... Ma... Dini sudah berkeluarga. Dini juga ingin mandiri."

"Tapi, Sayang... apa nggak bisa nunggu kamu selesai kuliah dulu? Lagipula Satya kan sering kerja sampai malam." Bujuk Bu Lasmi.

"Dulu sebelum Sinta tinggal di sini kan Dini juga sering di rumah sendiri kalau Papa Mama dinas ke luar." Andini berusaha meyakinkan orang tuanya.

"Lagipula rumah yang kemarin saya lihat tidak jauh dari kampus Dini, Ma.. Saya juga akan berusaha untuk tidak pulang malam." Satya menambahkan.

"Mas Satya pasti akan jagain Dini, Ma... Pa..."

"Sudah, Ma... Biarkan.. Tidak ada salahnya mereka mandiri. Supaya mereka paham arti tanggung jawab. Terutama Satya."

Satya tersenyum getir sembari mengucapkan terima kasih pada mertuanya. Ia paham ucapan papa mertuanya tadi juga adalah sindiran untuknya.

"Yahh... Mas... aku sengaja pindah kuliah kemari biar bisa sama Dini... kok malah Mas bawa Dini pergi sih?" Rajuk Sinta dengan wajah cemberut setelah orang tua Andini pergi.

Satya melotot. "Aku kan suaminya.. kenapa nggak boleh bawa istriku pergi?" Balasnya sambil melirik Andini. Khawatir gadis itu tersinggung dengan ucapannya.

"Kan masih bisa ketemu di kampus, Sin." Ucap Andini.

"Ya kan beda, Din.."

"Kamu nanti bisa mampir ke rumah kok kapan aja."

"Asal jangan gangguin orang aja." Celetuk Satya.

"Mas! Ih kejam sama adik sendiri..."

Andini hanya tersenyum melihat perdebatan kakak beradik itu.

"Ke kamar yuk, Din.. ini anak bawel terus.." kata Satya menarik tangan istrinya hingga Andini beranjak dari duduknya mengikuti langkah Satya.

Sinta hanya bengong melihat pemandangan di hadapannya. Andini sadar nggak tuh? Kok dia diam aja tangannya di pegang Mas Satya? Kok nggak histeris kayak waktu itu? Apa udah terbiasa ya? Tapi aku nggak pernah lihat mereka pegangan tangan selain di acara pernikahan itu? Atau mungkin semua berawal di kamar? Ah, kenapa aku jadi kepikiran macam-macam? Bukankah bagus kalau Andini sudah bisa menerima Mas Satya...

***

Andini melepas tangan Satya begitu masuk kamar. Satya tadinya berpikir Andini tidak sadar dengan genggamannya.

"Terima kasih, Din.. tadi kamu mau membantuku meyakinkan Papa dan Mama."

Andini hanya mengangguk.

"Besok aku mau lihat rumahnya lagi, sekalian kasih DP. Kamu mau ikut?"

Andini mengangguk lagi.

"Tidurlah kalau sudah ngantuk."

Andini kembali mengangguk. Lalu masuk kamar mandi untuk mengganti bajunya dengan piyama.

Satya duduk di tepi ranjang sambil mengacak-acak rambutnya. Aku serasa bicara dengan patung. Tadi saja membelaku di depan orang tuanya. Sekarang diam saja saat kuajak bicara. Andini... kapan kau akan kembali jadi Andini-ku yang dulu?

Satya langsung melompat ke ranjang dan pura-pura tidur saat pintu kamar mandi terdengar dibuka.

Andini mendesah panjang saat dilihatnya Satya telah terpejam. Pelan-pelan dibaringkannya tubuhnya di samping suaminya lalu bergerak miring. Mereka tidur saling memunggungi. Namun mata mereka sama-sama terbuka tanpa mereka menyadarinya. Andini dan Satya sibuk dengan pikiran masing-masing.

***

RAPUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang