#8 -- Sesal

6.6K 298 1
                                    

Satya menatap langit-langit kamarnya. Ia sama sekali tak bisa memejamkan matanya walau malam mulai berganti. Bayangan wajah Andini yang menangis selalu menghantuinya. Bukan... bukan Andini yang menangis kemarin itu. Namun Andini yang menangis setelah Satya merenggut paksa mahkota gadis itu. Tangis pilu yang menyayat hatinya. Walau ada sepercik sesal yang muncul, namun nafsu terlanjur membutakannya. Bahkan malam itu ia sanggup melakukannya berkali-kali tanpa peduli kesakitan Andini.

Tidaaakk.....

Jangaaaan......

Lepasin......

Tolong.... hmmpph....

Brengsekk!!!

Jangan sentuh aku....

Ahh... Sakkiiiittt.....

Ampuuunn Mas..... Sakiiiitt....

Hentikaaaann.....

Satya tanpa sadar terisak. Diakuinya ia memang biadab. Dia telah berdosa besar pada gadis itu, gadis yang sejak lama dicintainya walau ia berusaha mengingkari hatinya sendiri.

***

Sementara itu hal yang tak jauh berbeda dilakukan Andini. Ia hanya telentang di ranjang dan diam menatap ke atas. Sinta telah balik ke kamarnya karena ia paham Andini butuh waktu menenangkan diri. Bayangan-bayangan peristiwa itu berkelebat di kepala Andini. Matanya menerawang jauh.

"Din, tolong buatin jus dong!"

Andini yang sedang duduk menonton tv langsung mendongak.

"Jus apa mas? Di kulkas ada jeruk, apel, jambu..."

"Apel aja. Jangan manis-manis. Anterin ke kamarku ya."

Andini mengangguk. "Emm... Mas.. Pakde sama Bude balik dari Bali kapan ya? Rencananya dua tiga hari lagi aku mau pulang."

"Buru-buru amat, Din. Kamu juga belum dua minggu di sini."

"Mau ngurus KRS, Mas. Aku baru dikasih tau kalau pembimbing akademikku mau cuti umroh. Aku kan butuh tanda tangannya."

"Oh.. ya paling besok malam atau paginya mungkin udah sampai rumah."

"Ya udah deh.. Kok Sinta belum pulang ya Mas, udah malam gini.. Kemarin bilangnya acaranya cuma sampai sore."

Bip... bip...

Satya merogoh sakunya, membuka ponselnya sejenak. "Nih, baca sendiri." Ia menyodorkan ponselnya ke Andini.

From: Sinta Cumi
Mas, di perkemahan hujan gede. Gak bisa pulang. Aku sama anak2 pramuka disuruh nginep di rumah2 penduduk. Pulang besok pagi.
Jangan molor dulu! Kunci pintu sebelum tidur!

Andini mengembalikan ponsel Satya. "Aku ke dapur dulu, Mas."

"Sekalian pintu-pintu dikunciin ya, Din. Lampu ruang tamu juga matiin aja. Aku ke kamar dulu."

Andini mengangguk. Tak butuh waktu lama bagi Andini membuat jus. Ia mengetuk pintu kamar Satya.

Satya membuka pintu. Agak kaget melihat Satya bertelanjang dada.

"Jusnya, Mas."

"Taruh di meja deh." Jawab Satya sambil mengisyaratkan kepalanya.

Andini pun masuk. Setelah meletakkan jus, ia berbalik dan terkejut mendapati Satya justru mengunci pintu kamarnya. Sebuah perasaan tak nyaman menyusup ke hatinya.

"Aku mau keluar, Mas." Katanya berjalan ke arah pintu hingga tiba-tiba Satya mencekal lengannya. Andini terkejut. Ekspresi wajah Satya seolah asing baginya.

"Kamu di sini saja."

"Aku mau keluar, Mas. Lepasin." Andini berusaha menggerakkan lengannya tapi tak berhasil.

"Mas Satya, apaan sih..." Andini meronta saat Satya mendekapnya dari belakang. Ia sadar kalau dirinya dalam bahaya.

"Lepasin.. lepasin..."

" Tidaaakk....." jeritnya saat tangan Satya meremas dada kirinya. Andini sudah hampir menangis.

"Jangaaaan......" teriaknya ketika Satya mengulanginya lagi. Bahkan kini keduanya menjadi sasaran.

Satya meraih wajah Andini dengan sebelah tangannya. "Lepasin......" Andini terisak-isak.

"Tolong.... hmmpph...."

Belum sempat ia berteriak, Satya sudah lebih dulu menyambar bibirnya. Dilumatnya kasar bibir indah sepupunya itu.

"Brengsekk!!!" Andini mencoba memukul-mukul, namun ia tak berhasil. Satya justru mendorongnya ke ranjang dan menindihnya.

"Jangan sentuh aku...." teriaknya.

Satya tak peduli. Ditariknya kedua tangan Andini ke atas dan diikatnya dengan syal yang tadi sempat disambarnya dari kursi.

"Ahh... Sakkiiiittt....." jerit Andini saat Satya mengikatkan tangannya terlalu kuat ke kepala ranjang.

"Lepaskan aku!!! Apa yang kau lakukan? Brengsek!!!"

Andini terus menjerit meronta saat Satya merobek-robek bajunya. Disentaknya pakaian dalam gadis itu kasar hingga dadanya terlihat jelas. Andini menangis menggeleng-gelengkan kepalanya ketika Satya mulai menjamahi tubuh bagian atasnya. Andini mengerang saat dadanya dilumat dan digigiti Satya.

"Sakiiit...." lirihnya.

Satya turun. Kaki Andini menendang-nendang saat Satya berusaha meloloskan celananya. Namun Satya sepertinya tak ambil pusing. Dia sudah dikuasai hawa nafsu. Setelah melepas pakaiannya sendiri, ia kembali menindih sepupunya. Andini masih menendang-nendang saat kakinya dibuka paksa.

"Aaaaaaaa......"

Tangan Andini yang terikat mengepal kuat. Wajahnya menahan sakit dengan air mata yang berderai saat Satya menghentakkan tubuhnya dengan kuat hingga mereka menyatu.

"Ampuuunn Mas..... Sakiiiitt...." isaknya merasakan perih di selangkangannya karena gerakan Satya.

"Hentikaaaann..... tolong....." rintih Andini pilu.

Tubuhnya terasa remuk redam, jiwanya terasa kotor dan hina, ketika merasakan sesuatu yang hangat mengalir di dalam perutnya. Hangat namun terasa menjijikkan. Ia sudah ternoda.

Satya berdiri. Ia berjalan menuju meja dan meneguk habis jus yang dibuat Andini.

"Jus yang lezat, Andini."

Andini membuang muka. Air mata masih terus mengalir di pipinya. Bahkan ketika Satya membalikkan tubuh Andini dan kembali melakukannya, air mata itu mengalir semakin deras mengikuti rintihan kesakitan gadis itu. Sejak malam itu, Andini tahu ia sudah tak berharga lagi sebagai perempuan.

***

RAPUHWhere stories live. Discover now