#16 -- Pelukan

6.9K 291 4
                                    

Satya menatap istrinya khawatir. Andini menggigil dengan mata terpejam. Suhu badannya terus naik. Ia berkali-kali mengganti kompresnya. Andini tak berhenti mengigau, terkadang Satya mendengar jelas ia mengatakan 'jangan', 'ampun', atau 'sakit'. Dada Satya semakin sesak mendengarnya. Bayangan peristiwa itu kini berkelebat di kepalanya. Satya merasa murka pada pada dirinya sendiri.

Satya melirik jam dinding. Pukul 00.45. Pandangannya kembali menyapu jendela kamar. Kalau saja hujan tak sederas ini dan suara petir tak menggelegar begini, tentulah ia sudah membawa istrinya ke dokter atau rumah sakit.

Kumohon, Din...ayo bangunlah! Buka matamu! Hati Satya semakin tak karuan.

Mata Andini perlahan terbuka. Tubuhnya terasa lemas dan panas dingin. Satya menambah selimut di tubuhnya.

"Masih dingin?" tanyanya khawatir.

Andini mengangguk, lemas rasanya mau mengeluarkan suara. Satya mengambil minyak angin dan menggosokkannya pada kaki Andini. Andini yang kaget langsung menarik kakinya.

"Maaf, Din.. kakimu dingin sekali. Aku hanya ingin...." Satya tak meneruskan ucapannya ketika Andini mengulurkan kakinya.

Andini seperti merasakan aliran darahnya saat tangan Satya menyentuh kakinya dan menggosoknya perlahan. Rasa hangat mulai menyusup ke kakinya. Apalagi saat sesekali dirasakannya pijitan-pijitan lembut.

"Pakai kaos kaki ya?" Tanya Satya.

Andini hanya mengangguk.

"Kamu takut petir?" tanya Satya usai memasangkan kaos kaki Andini. Dilihatnya Andini semakin gelisah mendengar petir berkali-kali menyambar dengan kerasnya.

Andini diam saja, namun Satya melihat kegusaran itu di mata istrinya. Perlahan, walau hatinya ragu, Satya mendekat ke sisi Andini.

"Mas mau apa?" tanya Andini khawatir saat Satya menyibakkan sebagian selimutnya.

Andini menggeleng takut. "Jangan, Mas..." lirihnya.

Satya tak menghiraukan dan justru membentangkan kembali selimut itu menutupi tubuh mereka berdua. Tangan kokoh itu bergerak ingin meraih tubuh istrinya. Jantung Andini berdetak kencang. Tangannya berusaha menepis tangan Satya.

"Mas Satya, jangan sentuh aku! Kumohon..." sergahnya dengan suara lemah. Namun tangannya tak mampu menyingkirkan tangan suaminya. Andini sudah hampir menangis.

Satya mengerti ketakukan istrinya. Namun tak ada cara lain yang terbersit di kepalanya.

"Andini, kumohon jangan salah paham. Aku cuma nggak mau kamu sakit. Aku janji nggak akan meminta lebih. Tolong izinkan aku memelukmu... Tubuhmu menggigil."

"Tapi, Mas...."

"Kumohon, Andini..." pinta Satya dengan khawatir.

Andini pun mengangguk pasrah. Satya merebahkan tubuhnya miring. Tangannya meraih tubuh Andini merapat ke pelukannya. Andini menggigit bibir merasakan dadanya berdebar-debar. Ada rasa khawatir, takut, dan canggung. Bayangan peristiwa menyakitkan itu hadir sekilas demi sekilas. Andini memejamkan mata, berusaha mengusirnya. Tanpa sadar kepalanya menggeleng-geleng.

"Kenapa, Din? Nggak bisa tidur?" Tanya Satya saat merasakan tubuh istrinya bergerak-gerak.

Andini hanya mendongakkan kepalanya.

"Tidurlah..." Satya mengeratkan dekapannya.

Sebenarnya Andini belum ingin tidur, namun kehangatan pelan-pelan menyusup dalam pori-pori tubuhnya hingga matanya pun tak kuat lagi untuk terus terjaga.

Satya hanya tersenyum. Betapa bahagianya bila setiap hari aku bisa memelukmu seperti ini, Andini.

Andini sama sekali tak menyadari ketika Satya mengecup lembut keningnya sebelum akhirnya ia sendiri terlelap di samping istrinya.

Andini mengerjapkan matanya. Sinar matahari yang masuk lewat celah jendela menyilaukannya. Sudah pagi rupanya. Andini ingin bangun tapi tubuhnya susah digerakkan. Baru disadarinya ia semalam tidur dalam pelukan Satya.

Apa Mas Satya benar-benar telah berubah? Aku tau dia menyesali perbuatannya, tapi sulit sekali mengusir bayangan peristiwa itu.

Dengan tangan bergetar, disentuhnya pelan dada Satya.

"Mas..." panggil Andini pelan.

Satya membuka matanya. Yang pertama dilihatnya adalah wajah istrinya. Satya tersenyum.

"Sudah baikan belum? Aku antar ke dokter ya?"

Andini menggeleng. "Aku udah nggak apa-apa, Mas. Makasih.. Mas Satya udah merawat dan jagain aku."

"Sudah kewajibanku, Andini." Jawab Satya sambil menyingkirkan rambut Andini yang jatuh ke dahinya.

Dada Andini terasa berdesir karena sentuhan Satya. "Emm... Mas.. aku mau bangun." Ujarnya untuk menutupi perasaannya.

Satya menarik tangannya dari tubuh istrinya. Andini langsung beranjak ke kamar mandi. Satya ikut bangun dan duduk di tepi ranjang.

"Aku rela menyerahkan nyawaku andai bisa memelukmu lagi seperti semalam, Andini.." gumam Satya pelan. Tepat pada saat itu Andini keluar dari kamar mandi. Mereka sama-sama terkejut dan hanya bisa saling menatap.

"Eh, Din.. kamu sudah selesai? Lebih baik kamu istirahat lagi.. biar aku yang bikin sarapan." Kata Satya gugup lalu bergegas keluar kamar.

***

RAPUHWhere stories live. Discover now