#15 -- Aku Mencintainya

6.4K 296 5
                                    

"Hei..." Sinta mendekati Langit yang sedang duduk di bangku taman sendirian.

"Duduk, Sin." Langit menggeser tubuhnya.

"Ngapain sih? Ngelamun ya?" Goda Sinta saat dilihatnya wajah lelaki itu seperti benang kusut.

Langit hanya nyengir. "Andini mana? Biasanya kalian bareng."

"Dini nggak masuk."

"Andini sakit?!"

Sinta kaget mendengar pertanyaan Langit yang lebih mirip teriakan. Apalagi melihat wajahnya yang tampak khawatir. Sinta tersenyum paham.

"Andini baik-baik saja. Dia lagi pindahan. Mereka mutusin buat tinggal sendiri."

"Andini kelihatannya bahagia." Ucap Langit lesu.

"Kamu masih suka sama Andini ya?" Tanya Sinta gamblang.

Langit hanya mendesah. "Waktu aku melihatnya bersanding dengan kakakmu di pelaminan, ternyata hatiku sakit."

Sinta menepuk bahu Langit. "Lepasin dia pelan-pelan."

Langit hanya diam. Pikirannya menerawang jauh.

***

Andini menghempaskan diri di sofa. Hari ini dia memutuskan untuk bolos kuliah karena badannya begitu capek membereskan rumah barunya setelah kemarin mereka pindah. Satya tadi pagi sudah pamit karena harus wawancara kerja dan setelah itu mampir ke cafe untuk mengecek perkembangan renovasi.

Andini jadi bingung sendiri apa yang harus dilakukan. Bersih-bersih, sudah. Memasak, sudah. Nonton tv, bosan. Dulu walaupun ia sering ditinggal sendiri, ia tak sebosan ini. Dia bisa jalan-jalan atau sekedar makan di luar. Bisa berbuat semaunya. Namun sekarang... kondisinya berbeda. Dia tak mungkin bisa seenaknya jalan ke luar begitu saja. Andini menghela napas. Apa begini rasanya jadi seorang istri?

Tanpa sadar Andini memencet kontak Satya di layar ponselnya.

"Assalamualaikum. Hallo, Din.. kenapa?"

Eh? Lho kok suaranya.....

Dini menatap layar ponselnya, lalu menepuk keningnya sendiri.

"Dini.... Kok diam? Kenapa?" panggil suara di seberang.

"Emm... maaf, Mas.. salah pencet. Tadi aku mau nelpon Sinta." Jawabnya sambil menggigit bibir.

"Oh.. aku pikir ada apa."

"Mas Satya pulangnya kapan?"

Andini menepuk keningnya lagi begitu sadar apa yang diucapkannya.

"Memangnya kenapa?"

"Eh.. nggak apa-apa. Udah ya, Mas. Aku mau telpon Sinta dulu. Assalamualaikum." Andini langsung memutus sambungan teleponnya.

Huft! Kenapa harus salah pencet ke dia sih?

Andini meletakkan ponselnya. Dia sudah tidak ada keinginan lagi menelepon Sinta. Andini kembali mengganti-ganti channel televisi sampai dia lelah dan tertidur di sofa.

Hari sudah senja saat Satya sampai di rumah. Ia bergegas masuk karena kondisi rumah yang gelap. Ia takut terjadi sesuatu dengan istrinya. Satya menghela napas begitu mendapati Andini tertidur di sofa. Dinyalakannya lampu-lampu lalu menghampiri istrinya dan ikut duduk di sebelahnya. Dibelainya pelan rambut Andini.

"Din.. bangun. Sudah maghrib."

Andini tak bereaksi.

"Dini... Bangun, Din.. Sayang.." diguncangnya pelan bahu istrinya.

Andini langsung terkejut.

"Jangan! Jangan sentuh aku! Ampuun Mas... ampuuun...." serunya sambil memeluk dirinya sendiri.

Satya langsung berdiri dan mundur. Dia tampak begitu shock.

Ya Allah... Dini.. kau memang masih membenciku..

Andini yang tersadar pun kaget melihat Satya yang jatuh berlutut di lantai.

"Maafkan aku, Andini... maaf.." ucapnya lirih.

Andini menggeleng-gelengkan kepalanya. Air matanya menetes.

"Nggak... Mas... aku... aku yang minta maaf.. aku nggak bermaksud.... maaf.." Andini langsung berlari menuju kamar.

Satya semakin luruh di lantai. Matanya berkaca-kaca.

Aku memang berdosa, Ya Allah.. hukumlah aku... hukumlah aku apa saja.. namun kumohon pada-Mu, hapuskanlah lukanya.. aku tak tega melihatnya tersiksa.. hanya Engkau yang tahu aku sungguh mencintainya...

***

RAPUHWhere stories live. Discover now