#19 -- Menunggu

7K 271 1
                                    

"Din, Sinta mana?"

Andini mendongakkan wajahnya begitu mendengar namanya dipanggil. Tampak sosok lelaki yang berbulan-bulan yang lalu sempat akrab dengannya.

"Lagi ketemu dosen. Judulnya udah acc kemarin. Ada perlu sama Sinta?"

Langit duduk di sebelah Andini. "Iya sih.. tadinya mau ngajak dia jalan.." katanya sambil garuk-garuk kepala. "..tapi kalau kalian mau pulang bareng ya lain kali aja."

Andini tersenyum. "Santai ajalah, Lang.. aku nggak bareng Sinta kok. Cuma ngobrol aja tadi dia nungguin dosen, aku nungguin jemputan."

"Suami kamu jemput?"

Andini mengangguk. Jujur saja dia masih merasa tidak enak hati pada Langit.

"Langit..." panggil Andini saat suasana berubah hening.

Langit menoleh menatap Andini.

"Maaf soal yang dulu kalau aku pernah nyakitin kamu..."

Langit terdiam. Menghela napas sejenak.

"Udah, Din.. lupain aja. Sekarang kamu udah bahagia sama kehidupan kamu. Aku juga udah lanjutin hidupku. Lihat nih! Apa aku kelihatan merana? Lagipula sepupu kamu banyak bantuin aku."

Andini tersenyum. "Sinta memang gadis yang baik, Lang."

"Hayo!!! Ngomongin orang!"

Andini setengah menjerit begitu dikagetkan suara dari belakang. Sinta tertawa kecil.

"Ngagetin tau nggak!" Serunya melotot.

"Lagian kalian berdua ngomongin aku di belakang." Balas Sinta.

"Tuh ditungguin Langit!" Cibir Andini.

"Jadi jalannya? Tapi nungguin Dini dijemput dulu ya.." pinta Sinta pada Langit.

Langit mengangguk.

"Eh nggak usah. Kalian duluan aja. Paling sebentar lagi Mas Satya datang."

"Jewer aja kupingnya tuh, Din.. masa' hampir sejam ditungguin nggak nongol juga. Bener-bener deh jadi suami!" Sembur Sinta.

"Udah kalian jalan aja deh sana..."

"Ya udah.. aku tinggal ya, Din.."

Andini mengangguk. Menatap punggung Sinta dan Langit yang perlahan menjauh. Diliriknya kembali jam tangannya dengan gelisah.

Kenapa Mas Satya belum datang juga? Ada apa? Dia kenapa? Andini makin resah. Dia ingin sekali menghubungi Satya namun dia ragu. Berkali-kali ia menatap layar ponselnya. Berharap. Barulah sekitar setengah jam kemudian ponselnya berdering. Andini langsung mengangkatnya begitu nama Satya terpampang di layar.

"Assalamualaikum. Mas di mana?"

Andini mengerutkan keningnya mendengar suara di seberang.

"Oh gitu ya? Nggak apa-apa kok." Katanya menggigit bibir.

"Ya udah. Aku pulang sekarang."

Andini mendesah berat.

"Walaikumsalam."

Andini menatap ponselnya dengan lesu. Perlahan dia melangkahkan kakinya gontai meninggalkan kampus. Hari sudah menjelang sore dan mendung pun sudah mulai menghitam. Andini bergegas menuju halte bus.

Setengah berlari, Andini menyusuri jalanan menuju rumahnya. Tak dihiraukannya air yang mengguyur badannya. Andini hanya ingin cepat pulang. Dibukanya pintu pagar dengan tergesa. Sekilas dilihatnya motor Satya telah terparkir di depan.

Satya langsung membawakan payung begitu melihat Andini datang. Dirangkulnya istrinya masuk ke rumah. Menatapnya khawatir.

"HP kamu nggak bisa dihubungi. Aku khawatir. Kenapa hujan-hujanan?"

"HP nya mati Mas.. aku pengen cepat pulang.. Dingin..." jawab Andini menggigil.

"Ayo ganti baju dulu. Aku bikinin minuman hangat." Satya memberikan handuk pada istrinya.

Maafkan aku, Din... ini salahku.. Kalau saja aku tak mementingkan urusanku dan lebih memilih menjemputmu..

"Ini minum dulu." Satya menyodorkan teh hangat ke bibir istrinya.

Andini menyesapnya sedikit. Lalu menaikkan kakinya ke sofa sambil menggosok-gosok tangannya sendiri. Satya meletakkan cangkir teh ke meja. Dirapatkannya duduknya pada istrinya lalu diraihnya tangan lembut itu. Menyalurkan kehangatannya. Andini hanya terdiam menatap Satya.

"Masih dingin?"

Andini mengangguk. "Hujannya tambah deras."

Satya berdiri menarik tangan Andini. Andini hanya menurut saja dengan pandangan penuh tanya.

"Kita ke kamar saja biar lebih hangat."

***

RAPUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang