#25 -- Serapuh Aku

6.5K 256 40
                                    

"Saat bertemu tadi pagi, saya sudah merasa keadaan Pak Satya kurang baik, Bu. Sepertinya sedang lelah dan wajahnya agak pucat. Saya sempat meminta agar Pak Satya istirahat saja tapi beliau mengatakan tidak apa-apa dan tetap ingin meninjau proyek pembangunan hotel. Karena tidak tega saya memaksa untuk menemani. Saya mengawasi Pak Satya terus karena sempat melihat beliau melamun dan tidak fokus memberikan pengarahan. Semuanya terjadi begitu cepat, Bu. Saat itu saya pamit untuk menerima telepon dari ibu saya dan tau-tau terdengar suara benda keras yang jatuh. Menurut para pekerja tadi ada balok kayu yang jatuh dari lantai tiga, Pak Satya tidak sempat menghindar. Ada juga yang bilang sudah berteriak memanggil namun Pak Satya tak mendengar karena tengah melamun.."

Andini terduduk lemas di kursi begitu mendengar penjelasan Amir. Air matanya masih tak mau berhenti mengalir sejak mengetahui kondisi suaminya dan seolah setengah dipaksa mengambil keputusan untuk menandatangani surat pernyataan persetujuan tindakan operasi dari rumah sakit, karena belum ada seorang pun anggota keluarganya yang tiba. Bahkan saat Amir berpamitan pun ia hanya mampu mengangguk saja.

"Dini..." Sinta langsung memeluk Andini di depan ruang operasi. Air mata masih tampak membasahi pipinya walau sudah berusaha disekanya. Langit pun tampak tergopoh-gopoh menyusul istrinya yang berjalan terlalu cepat apalagi di tengah kondisinya yang hamil muda.

"Gimana Mas Satya?"

Andini menggeleng sembari terisak. "Ini salahku, Sin.. semua salahku.. Aku yang bikin Mas Satya emosi.. Aku yang bikin dia nggak konsen kerja.. Semua salahku... Ya Tuhan.. Mas Satya, maafin aku... Aku takut, Sin.. aku takut..."

"Sabar, Din.. sabar... Om sama Tante bentar lagi nyusul. Mama Papa juga udah aku kabarin." Sinta menggenggam tangan Andini yang begitu dingin. Bibirnya pun tampak pucat dan gemetar. Sinta mendadak khawatir dengan kondisi sepupunya.

"Lang, tolong beliin teh panas sama roti. Mukanya Dini pucat banget." Pintanya pada sang suami.

Langit mengangguk. "Kamu nitip apa?"

Sinta menggeleng. "Kalau ada wedang jahe boleh deh. Mulutku masih pahit habis muntah tadi."

Sepeninggal Langit, Andini mencoba bicara pada iparnya. "Aku takut, Sin.. tadi pagi kami bertengkar.. Mas Satya jadi begini gara-gara aku, Sin.."

Sinta memeluk Andini berusaha menenangkan. Sengaja tak ingin bertanya perihal penyebab pertengkaran mereka. Namun ia merasa pastilah bukan pertengkaran biasa karena Andini kelihatan begitu menyesal. Tak lama kemudian orang tua Andini tiba. Menyusul kemudian Langit yang muncul dan langsung menyerahkan kantong plastik ke istrinya. Sinta dan Bu Lasmi membujuk Andini untuk makan namun Andini menolak. Ia hanya meneguk sedikit teh panasnya. Bagaimana ia bisa menelan makanan sementara di dalam ruangan suaminya tengah berjuang?

"Kita berdoa ya.." Sinta membimbing Andini yang tampak semakin kacau.

Sekitar satu jam kemudian pintu ruang operasi terbuka. Andini langsung bergerak menyongsong sang dokter. Penjelasan dokter membuat kepalanya berputar luar biasa. Tak sampai hitungan menit hingga tubuhnya mendadak merosot dan spontan ditangkap oleh Langit yang kebetulan berdiri di belakangnya.

"Ya Tuhan.. Andini..." Sinta menjerit ketika melihat ada darah mengalir di betis sepupunya.

***

"Mas Satya, kok udah pulang?" Andini mengernyit heran. Matanya menelusuri sosok yang berada di samping sepupunya.

Satya hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Andini. "Oh ya kenalin, Din.. ini Desy. Des, ini Andini sepupuku dari Jakarta."

Andini menjabat tangan gadis yang dikenalkan Satya. "Pacar, Mas?"

RAPUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang