Chapter 6.2 | Snow White's Apple

37.9K 2.4K 108
                                    

Happy Reading

My Beast Charming | Chapter 6

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

My Beast Charming | Chapter 6.2 – Snow White's Apple

***

Lonceng kecil yang tergantung di depan pintu sebuah kafe berdenting nyaring begitu Zean mendorong pintu tersebut dan masuk ke dalam. Warna putih gading dan krem terlihat mendominasi ruangan Confetti Cafe dengan beberapa frame lukisan dan desain meja pelanggan yang bergaya modern kontemporer, dimana pada jam – jam menjelang siang suasana masih belum terlalu ramai.

Dia tidak sendiri, hanya saja punggung besarnya menutupi tubuh mungil seorang wanita yang juga datang bersamanya. Di belakang Zean, Aneira berjalan pasrah mengikut bagaikan ekor, sampai akhirnya mereka duduk berhadapan dengan dua cangkir ice coffee di atas meja yang masing – masing seharga puluhan dolar.

Ya Tuhan.. Jika begini caranya dompet Aneira akan terkuras dalam sekejap.

"Apa kau yakin kita harus bicara di tempat seperti ini?" permulaan yang Aneira lontarkan itu mengundang tatap heran dari Zean. "Maksudku.., bukankah kafe ini terlalu berlebihan hanya untuk menyelesaikan masalah di antara kita?"

Zean melipat tangan di depan dada. "Aku tidak mengerti dengan kategori berlebihan yang kau maksud. Tapi bagiku, tidak ada yang salah dengan tempat ini. Berhentilah mengeluhkan hal yang tidak perlu," jawabnya mematahkan argumen Aneira. "Lebih baik kau tidak mengalihkan pembicaraan, nona bar – bar. Karena aku tidak akan membiarkanmu lepas lagi."

Tanpa sepengetahuan Zean, Aneira menggertakkan giginya diam – diam. Lelaki itu bahkan tak memberikan celah sedikit pun untuk pembahasan lain. "Aku, tidak, akan, kabur. Dasar pria menyebalkan!!" gertak Aneira lalu menenggak habis ice coffee di depannya tak peduli siapa yang nanti akan membayar tagihan mahal itu.

"Sebelum aku bertanggung jawab, aku akan menanyakan satu hal padamu," dia meletakkan kembali cangkir kopi ke atas meja.

Zean hening tanpa ekspresi. Pertanda dirinya mengiyakan. Dia juga tengah berusaha membaca pikiran Aneira. Namun sungguh di luar prediksi, otot – otot wajah Zean seakan dibuat kaku begitu melihat wanita itu mendadak menegakkan tubuh, dan dengan berani mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka nyaris bersentuhan. Mata biru Zean bertubrukan dengan kristal abu – abu Aneira dari jarak yang sangat dekat.

"Apa ini asli?" suara feminin itu menyeletuk. Telunjuk Aneira ragu – ragu menyentuh hidung Zean. "Kau tidak sedang berusaha memerasku dengan plester itu bukan?"

Damn!! Wanita ini benar – benar..., berani!!

Zean segera mendorong kepala Aneira menjauh sampai Aneira tersentak kembali di kursinya. "Kau akan menyesali perkataanmu. Aku tahu seorang dokter spesialis. Apa yang akan kau lakukan jika dia berkata aku harus dioperasi karena perbuatanmu?!"

"Oh! Kau berlebihan sekali!" Aneira menggeram. "Pria lemah macam apa yang merengek hanya karena hidungnya mengalami luka kecil seperti ini? Karena buku tipis?? Seriously!"

"Aku berlebihan? Lalu bagaimana denganmu? Apa kau pernah memperkirakan kekuatan overmu itu bisa saja membuat seseorang kehilangan hidung?!" tukas Zean.

Aneira mijit pelipisnya lelah. Dia merasakan pusing yang berdenyut – denyut setiap kali beradu mulut dengan Zean. Sejak awal pertemuan mereka. Sorot matanya kemudian berubah sayu ketika menatap pria itu lagi.

"Jadi.., kau sungguh benar – benar sakit?"

Zean sudah akan membuka mulutnya saat gadis itu mengibaskan tangan. "Oke, tidak usah dijawab. Semuanya sudah jelas. Aku mengaku salah." Aneira meraih tasnya yang sedari tadi ia letakkan di sisi tubuh.

"Kalau begitu tunggulah sebentar, aku akan membawakan sesuatu untukmu," ujarnya lantas bangkit berdiri.

Sebelum jauh melangkah, Aneira kembali berbalik. "Jangan kuatir, kau bisa menahan kartu identitasku bersamamu sampai aku kembali. Ingat! Aku tidak berusaha kabur," tekannya kemudian melempar kartu itu pada Zean sebelum keluar dari kafe.

Wanita naif. Mudah sekali memberikan kartu identias sebagai jaminan pada orang asing.

Zean memainkan kartu Aneira di tangannya sembari menyeruput kopi miliknya yang sama sekali belum tersentuh. Tidak perlu membaca informasi yang tercantum di sana, karena Zean bahkan sudah menyelidiki latar belakang Aneira secara lengkap. Perhatiannya sendiri tidak pernah lepas dari pemandangan di luar sekat transparan yang membatasi kafe ini dengan jalan raya. Menunggu kedatangan wanita itu, tentu saja.

Selang beberapa menit kemudian, Zean hampir merasa jenuh, namun tak lama Aneira akhirnya datang dengan napas yang terengah – engah sambil menghempaskan barang bawaannya sedikit kasar karena terlalu berat.

"Apa ini?" tanya Zean.

"Apel, kau tidak lihat?"

"Maksudku. Untuk apa kau membawanya kemari?" geram Zean dengan kesabaran yang kian menipis. "Kau sengaja membuang waktuku yang berharga hanya untuk omong kosong seperti ini?!"

Alis tebal pria itu saling bertaut membentuk ekspresi yang mengerikan saat emosi. Zean benar – benar seorang monster.

Aneira mengetukkan jari telunjuknya pada tepi meja. "Kurasa kau tidak pernah dijenguk temanmu saat kau sedang sakit," ia menggeleng – gelengkan kepala prihatin. "Atau kau memang tidak punya teman? Uh oh... Pria kesepian. Biar kuberitahu. Ini yang biasa kubawakan saat menjenguk. Vitamin dalam buah efektif membuat keadaan orang yang kurang sehat menjadi lebih baik."

Zean tak berekspresi. "I don't need your fucking advice. Harga yang kau keluarkan tetap tidak imbang jika dibandingkan dengan biaya operasi hidung!"

Aneira menggigit bibir kuat – kuat. "Asal kau tahu saja, harga apel tidak semurah itu!" tampiknya berbicara dengan nada keras sampai urat nadi lehernya tertarik tegang. "Lagipula aku tidak memberikan satu biji. Lihat! Aku mengeluarkan cukup banyak uang untuk membelikanmu satu keranjang!!"

"Kau sendiri yang berasumsi. Apa aku terlihat seperti seseorang yang tidak sanggup membeli segudang apel? Lahan kebunnya saja bisa kumiliki!" kata Zean angkuh. "Betapa frustasi snow white ini. Makan sendiri apel beracunmu, jangan paksa pangeran tampan menghabiskannya." Zean bersedekap. Tatapannya masih beradu tarung dengan Aneira. Dan nada menjengkelkan yang terselip dalam perkataan Zean membuat Aneira semakin naik pitam.

"Ish! Terserah kau mau menerimanya atau tidak. Tanggunganku sudah selesai!" tanpa berlama – lama lagi Aneira sudah merebut kartu identitasnya dari tangan Zean lalu memasukkannya kembali dalam tas begitu ia berdiri.

"Bila tetap belum sembuh juga... Kuharap, kau bisa mempergunakannya dengan benar. Bersikaplah yang bijak, beast!"

Ucapan terakhir wanita itu sebelum meninggalkan Zean sendirian membuat Zean menatap kepergian Aneira sampai wanita itu tiba di seberang jalan dengan pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya. Mempergunakan apa?

.

.

NEXT CHAPTER >>>


Instagram : airalyn.66

Tiktok : airalyn.66


Kalian juga bisa baca Sequel My Beast Charming di profil Aira ya^^

ARCHER SERIES #2

JUDUL : THE ACE RULES

My Beast Charming✅Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt