Satu

43.2K 4.8K 210
                                    

***

Goal kedua terakhir seorang Agisa Barata adalah merampungkan kuliah. Sudah dicapinya. Tepat tiga bulan lalu, ia resmi mendapatkan gelar sarjana. Lalu hari ini, Gisa berada di dalam pesawat menuju Tokyo. Ia akan pulang ke tanah air. Meninggalkan teman-teman berbulu hidung pirang—sebutan dari papanya, dan juga sederet rutinitas yang menyibukannya selama empat tahun belakangan.

Biasanya, Gisa harus bangun pukul delapan pagi. Merapikan apartemen, mencuci pakaian sendiri, sambil menunggu mesin cucinya selesai beroperasi, biasanya ia akan membuat segelas espresso. Usai itu, mandi, dress up, sarapan singkat lalu pergi ke kampus. Dua atau tiga bulan ke depan, Gisa yakin hidupnya akan mengalami perubahan. Sebab dia akan menjadi seorang istri.

Istri....

Memikirkannya, Agisa tersenyum. Dia teringat pertama kali membuat permohonan pada Bara. Waktu itu, libur musim panas. Gisa tidak bisa pulang ke Indonesia karena mahasiswa Management Bisnis di kampusnya wajib mengikuti project dari beberapa perusahaan sebagai pelatihan. Sebagai gantinya, Bara dan Namira berkunjung ke Manhattan. Pada weekend kedua, mereka baru sempat jalan-jalan bertiga. Menyewa kereta kuda mengeliling Central Park lalu duduk di tepi danau buatan.

"Pa, Ma. Gisa mau bilang sesuatu."

Namira bertanya tanpa melepas fokus dari ice cream-nya. "Hm?"

Suasana sekitar cukup bising. Suara anak-anak dari arena bermain terdengar. Belum lagi para tourist. Gisa menunggu sampai rombongan yang dipimpin seorang pemandu wisata itu melewati mereka.

"Gisa sudah punya semuanya. Orangtua hebat, teman-teman tulus, keluarga besar sukses, pendidikan bagus, masa depan yang—In shaa Allah—pasti bagus," prolognya.

Bara dan Namira mendengar sambil menikmati kudapan yang mereka beli di Zabar's sebelum ke sini.

"Papa-Mama ingat, kan, Gisa pengin nikah muda?"

Kedua orang itu tertawa lalu mengangguk.

"Kalau Gisa pulang ke Indonesia. Gisa mau, dong, dicariin calon suami. Terserah Mama dan Papa. Kalian yang milih Mbak Zoya untuk Abang. Jadi, kalian juga harus pilihkan untuk Gisa."

Mata Bara menyipit. "Tumben kamu serahkan ke Papa?"

"Ya. Kalau aku pilih, Papa nggak pernah suka!"

"Itu karena kamu pacaran sama bulu hidung pirang!"

Agisa tergelak. Dari dulu, papanya selalu menentang ide berpacaran apalagi menikah dengan bule. Pertama, Bara tidak ingin anaknya dibawa jauh ke negara orang. Kedua, bule perlu di-training panjang menjadi imam yang baik. Ketiga—yang diam-diam sudah Gisa ketahui—Bara sudah punya kandidat potensial.

"Gisa serahkan semuanya ke Papa dan Mama."

Namira dan Bara berbagi lirikan. Lalu tersenyum. Gisa tahu itu bentuk kelegaan.

"Kamu yakin, Gis?"

"Sangat, Mam."

Mengangguk, Bara menatap anaknya lekat. "Kalau gitu, Gisa jaga diri baik-baik di sini. Kuliah yang benar. Pulang ke Indonesia, Papa janji akan carikan calon suami untuk Gisa. Yang baik. Seiman. Agamanya bagus. Tanggung jawab."

Saat itu di kepala Barata sudah terisi satu kandidat ideal. Dan tentu saja Gisa tahu siapa orang itu.

Tahun 2016 kemarin, saat Bara berulang tahun ke-55, Gisa pulang ke Indonesia hanya untuk memberi surprise. Di luar dugaan, gadis itu malah mendapatkan kejutan balik dari keluarganya berupa kepastian siapa calon suami.

Decision!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang