Chapter 20

24K 3.7K 538
                                    

Obsesi sederhana Agisa Barata adalah: merobek 'topeng' Gadi. Selama ini, ingin sekali Agisa lihat lelaki itu mengaplikasikan emosi. Tadi, semua terkabul. Agisa resmi membubuhi centang biru tanda berhasil.


"Jadi... Kenyataan sebenarnya adalah... Kakak kecewa?"

Henti beberapa lama. Sebelum Gadi menjawab, "Ya."

Sejujurnya... Agisa tidak ingin Gadi menjawab pertanyaan itu....

"Saya kaget. Merasa ditipu. Dan kecewa. Manusiawi bukan? Atau... saya nggak berhak untuk itu?"

"Sangat berhak. Masalahnya, kenapa harus pura-pura terima? Kenapa nggak langsung ceraikan aku detik itu juga?"

"Karena semua hal, nggak sespontan isi kepalamu!"

Perasaan Agisa saat itu adalah kaget berbaur sangsi. Ini pertama kali Ragadi meninggikan suara. Rasanya, seperti tengah mengobrol dengan manusia baru. Gadi menjelma jadi sosok asing.

"Lalu semua perlakuan Kakak selama ini... sikap manis Kakak... Kalimat penguat untuk kembalikan percaya diri aku, itu—"

"Tidak tulus?" simpul lelaki itu, dingin. "Palsu? Terpaksa karena balas budi? Munafik? Apa lagi? Bilang!"

Agisa kehilangan kemampuan beradaptasi dengan mode baru Gadi. Isi kepalanya bertanya, kenapa seorang selemah lembut itu, dengan enteng bersikap ketus padanya? Kemarin Agisa menghamba sisi lain—yang lebih manusiawi—dari Gadi. Sekarang, dia ketakutan menghadapi.

Harap Gisa, seseorang datang menyelamati mereka dari ancaman perdebatan rumit ini. Namun, keadaan sekeliling sepi. Pintu-pintu ruang inap Vvip tertutup. Membuat mereka seolah berada di dunia sendiri. Saling serang dan terpojok.

"Ini bukan tentang kesucian. Kecewa saya hanya tentang kejujuran kamu. Dan sudah saya atasi sendiri sejak awal." Raut lelaki itu semakin kelam. Sukses mengikis nyali lawan bicaranya.

"Menyimpan reaksi saya, adalah bagian dari mengistimewakan kamu. Saya hanya bijaksana: buang semua rasa ganjil itu, lalu berupaya agar semuanya kembali normal. Kamu bilang saya pura-pura? Apa saya harus maki-maki supaya terlihat tulus?"

Panjang lebar dan menyelentik Agisa tepat pada jantungnya.

"Hati saya—sampai ke syaraf-syaraf terhalusnya—nggak pernah sedikit pun suarakan sesal karena pilih kamu. Saya ikhlas."

"Ikhlas..." tiru Agisa dalam nada skeptis. Dia mulai tidak bisa membedakan arti ikhlas atau pasrah dalam kebodohan dari seorang Ragadi. "Apa ikhlas itu  termasuk menganggap diri kehilangan pilihan lain? Lalu memecut hati agar memilih aku?"

Gadi Menyipit, seolah baru mendengar kalimat paling aneh.

"Apa ikhlas itu ... menumbalkan pernikahan untuk balas jasa?"

Sesaat, mereka bersitatap. Menukar kerumitan isi kepala.

"Kakak kecewa karena aku nggak jujur? Kita sama, bukan? Saling tipu?"

Kesimpulannya: Gadi mulai dengan kebohongan. Sama, Agisa pun demikian. Mereka sama-sama picik.

"Saling tipu," ulang Gadi. Tawa getir beriringan dengan usapan merana di wajah. Lama ia tunduk, pandangi vinyl. Sekarang Gadi paham alasan Agisa minta pisah. Teka-teki isi kepala wanita itu mulai tertebak.

"Entah kenapa kamu berasumsi sedangkal itu tentang saya. Yang jelas, saya mulai ini dengan niat paling baik. Hati yang paling tulus. Karena saya cinta sama kamu!"

Decision!Where stories live. Discover now