Chapter 3

26.8K 4K 263
                                    

Mood aku lagi terarah ke cerita ini. Bukan berarti yg lain dibiarkan telantar. Pasti update kok. Impromptu sudah 2000 kata. Arkhan Otw. Jadi, gausah nyindir halus lah bahahahha.

Gimana cerita ini?
Wkwkk

***

Tadinya, Agisa pikir, mengobrol ala calon-pasangan-menikah itu akan berjalan menegangkan. Sebab, topiknya menyangkut masa depan. Jadi, paling tidak, mereka akan duduk berhadap-hadapan dalam mimik serius lalu mulai saling interogasi. Tapi, hal monoton itu tidak berlaku untuk mereka. Gadi malah mengajak Agisa ke sebuah perkampungan kumuh.

Sampai sedewasa ini hidup di Ibu Kota, tak pernah sekali pun Agisa menjejakan kaki di perkampungan seperti ini. Gadis itu berusaha menahan ekspresi wajah agar tak terlihat kaget. Apalagi, beberapa orang berwajah garang lalu-lalang di hadapan mereka. Sesekali menegur Gadi. Meski takut, tapi ada Gadi di sebelah Agisa; menggenggam tangannya. menciptakan rasa aman.

Sepanjang jalan, pintu-pintu rumah warga terbuka lebar. Tampak isi rumah beranggota belasan orang itu bertumpuk menonton televisi. Mereka bicara dengan nada keras-kadang terbahak. Seorang ibu meneriaki suaminya yang tengah bermain catur di warung kopi. Agisa begitu menikmati keadaan ini. Anak-anak remaja berkerumun di tepi jalan setapak, bermain kartu. Salah satu anak mengambil kuas yang sudah lebih dulu dicelupkan cat, lalu menggambar tanda panah di dahi temannya yang lain.

Agisa tertawa geli. Pemandangan ini tidak pernah didapatkan di komplek perumahan elit tempat dia tinggal. Terlalu bersemangat, tanpa sadar tangan kanannya yang bebas memeluk lengan Gadi.

"Kak Gadi, Kak Gadi. Lihat, deh! Mereka pakai cat dinding di muka. Astaga!" Dia terkekeh lepas. "Kalau nggak bisa dihapus, gimana? Apa mereka pakai thinner juga?" Didongakannya wajah, "di muk-" Sadar tingkahnya terlalu berlebihan-pun, cara Gadi menyimak ceritanya seperti seorang ayah terhadap anak balita yang baru belajar bicara, senyum Agisa serta merta menyurut. Dia melepaskan pelukan, lalu mengambil jarak dari Gadi.

"Ya, pakai thinner," jawab Gadi, kembali membawa tangan Agisa dalam genggaman. Lelaki itu menahan bibirnya yang berkedut. Tersenyum di saat Agisa sedang salah tingkah hanya akan membuat gadis itu seperti keong yang bersembunyi dalam cangkang.

Gadi mempercepat langkah. Tepat di ujung komplek, ada pagar beton tinggi yang beberapa sisinya sudah runtuh dan digunakan warga sebagai pintu masuk. Gadi membimbing Agisa masuk ke sana, melewati reruntuhan beton. Mereka sampai di sebuah lapangan berumput. Tempat itu lumayan luas dengan bantuan pencahayaan dari gedung tua di belakang. Salah satu dinding gedung digukanan untuk pantulan lensa proyektor yang sedang memutar film horor.

Mata Agisa berkeliling, Gadis itu dibuat takjub oleh pemandangan sekitar. Banyak warga berkumpul di sana. Mereka menggelar tikar, lalu berbaring sambil menonton. Ada juga yang duduk-duduk di kardus bekas lemari es dan mesin cuci. Untung tidak jadi hujan.

"Ini... bioskop alam, ya?" Gisa tak tahan lagi untuk menyuarakan pikirannya.

Gadi hanya tersenyum, mengambil sobekan kardus lalu menggelarnya untuk mereka. Dia memilih tempat agak berjauhan dengan warga lain. Sebelum mempersilakan, terlebih dahulu laki-laki itu memastikan area yang akan diduduki Agisa bebas debu. Semua tingkah lakunya membuat Agisa merasa begitu dihormati dan dihargai.

Bagi Agisa, berada di sini, bersama Gadi, adalah hal paling romantis yang pernah dia lakukan bersama lawan jenis. Ini lebih hebat dibanding menonton teater di Broadwey bersama pacar bulenya beberapa tahun lalu.

Decision!Where stories live. Discover now