Chapter 10

23.3K 2.9K 190
                                    

Pertemuan pertama setelah beberapa tahun tidak bertatapmuka, ternyata tidak terlalu menyenangkan. Malah, memberi kesan horor bagi Agisa.

"K-kak Rai..." Susah payah Agisa mengeja.

Pemilik nama itu tersenyum lebar. "Syahfa apa kabar?" Suaranya masih seramah dulu. Bedanya, kali ini. Senyum itu lebih ringan dibanding terakhir kali Agisa melihatnya, beberapa tahun lalu.

"Alhamdulilah baik." Menjawab tanpa bertanya balik adalah upaya untuk tak memperpanjang obrolan.

"Sudah lama enggak ketemu. Saya coba nge-add sosial media Syahfa, tapi enggak ada satu pun yang dikonfirmasi.

"Oh, itu..., Gisa jarang aktif. Maaf. Ya?"

Raipaskal tersenyum maklum. Seharusnya, Agisa tahu, lawan bicaranya adalah jenis orang yang pintar menyantaikan situasi. Lihat, dia bahkan mulai bercerita beberapa hal tentang teman-teman mereka. Padahal Agisa tidak menunjukan ketertarikan mengobrol.

"Tapi saya dengar kemarin Syahfa sudah menikah. Ya?" Kali ini, senyum Raipaskal berubah masam. "Dan saya nggak diundang." Dengan nada jenaka, lelaki itu mengeluhkan betapa teganya Agisa mengundang beberapa teman seangkatannya di resepsi pernikahan tapi Paskal sendiri dilupakan. Padahal, awal mula Agisa dekat dengan mereka karena dikenalkan oleh Paskal.

"Soalnya, Gisa pikir Kak Rai masih di luar negeri."

"Itu bukan alibi lain untuk menghindari saya, kan? Seperti yang lalu-lalu?" Pertanyaan bernada geli, pun, disampaikan dengan senyum, tapi raut Agisa sukses berubah. "Bercanda, Syafa."

Panggilan Barista memberi kesempatan pada Agisa untuk melepaskan diri dari belitan scene horor ini. Dia mengambil pesanannya lalu membayar.

"Gisa duluan, Kak Rai. Sampai ketemu-semoga nggak pernah ketemu-di lain waktu." Supercepat, lalu berbalik haluan menuju pintu keluar. Itu aksi kabur terbaik tanpa perlu memberikan kesan penghindaran.

"Eh, Syahfa, tunggu!"

Agisa menarik napas. Tapi kayuh kakinya dipercepat. Ini sudah sampai di pintu keluar, artinya semua aktivitas yang terjadi, bisa tertangkap mata Gadi. Sebaik dan selogis apa pun seorang suami, tetap saja tak wajar menunjukan adegan kejar-kejaran apalagi mengobrol ringan dengan laki-laki asing. Maka cara terbaik adalah pura-pura tuli dan pergi.

"Syahfa Agisa!"

Kegeraman menjalari Agisa. Raipaskal masih mengejarnya. Terpaksa Gisa berhenti.

"Bisa minta kontaknya?"

Permintaan Paskal Gisa jawab dengan tatapan "Buat-apa-guerasa-kita-nggak-ada-urusan-lagi?"

Buru-buru, Raiskal mengoreksi, "Nggak ada maksud apa-apa, cuma mau sambung silaturahmi. Saya mau masukan Gisa ke grup SG Squad. Anggotanya, semua teman-teman kita waktu di Singapore."

"Hm... bagaimana ya." Gisa menoleh ke belakang, Gadi terlihat sedang turun dari mobil. Dia harus cepat membuat keputusan. Tidak ingin menciptakan kesempatan mereka bertiga dalam satu wadah obrolan. "Gisa nggak bisa. Maaf, ya?"

Raipaskal seperti sudah membaca keadaaan. Dia membuat pemakluman lewat senyum. "Enggak apa-apa." Laki-laki itu kembali menyimpan ponsel. "Tapi... Syahfa baik-baik saja, kan? Maksud saya..." Paskal diam sejenak, sekadar membaca air muka Gisa. "Hm... hubungan dengan suaminya?" Kalimat terakhirnya terdengar begitu hati-hati.

"Tentu saja." Itu nada bicara paling jujur dan ringan agar lawan bicaranya tak perlu menaruh rasa iba apalagi merasa perlu menjadi hero. "Suami Gisa laki-laki paling baik."

Kembali Raipaskal diam. Mencari beberapa kemungkinan lain di mata Agisa. Hebatnya, yang ia jumpai adalah kejujuran. Laki-laki itu pun tersenyum seraya menepuk kepala Agisa. "Selamat untuk pernikahan Syahfa."

Decision!Where stories live. Discover now