Chapter 19

23.8K 3.7K 552
                                    

Dewasa itu mampu menepikan egois.


Ya, Agisa sedang berusaha untuk itu. Mungkin benar, bagi Gadi, Agisa masih anak-anak. Tapi, lihat, 'anak-anak' ini baru saja membuat keputusan tegas—sesuatu yang bahkan tak mampu dilakukan laki-laki 34 tahun, pemimpin sekaligus kepala rumah tangga seperti dirinya.

"Kita pisah saja."

Kalimat itu terus terulang di malam itu, hingga siangnya. Agisa ingin mendapati respons yang lebih sentimentil dari bungkam, mata berkaca-kaca, dan dekapan beraura kehilangan itu. Namun, Gadi bahkan tak berani menghadang matanya.

Laki-laki itu membuat susu hangat untuk Agisa. Tak melupakan ritual cium pipi sebelum tidur. Manis dan kehangatannya masih ada, yang hilang hanya suara.

Siang, dua hari setelah insiden itu, tiba-tiba Gadi menjemput Agisa di kantor. Kalau saja tidak ada Bara yang kebetulan sedang berpesiar, Agisa tak mungkin mengiyakan. Sekarang dia di sini, berdampingan dengan Gadi di mobil.

"Ke Bandara? Mau jemput siapa?"

Agisa baru berani bertanya, tak ada jawaban sampai mereka masuk ke parkiran. Genggaman Gadi jadi pemandu Agisa, keduanya masuk ke Lounge. Gadi tempati meja yang sama seperti beberapa bulan lalu.

"Ini—"

"Tempat di mana pertama kalinya Kakak dengar keyakinan seorang perempuan, yang menerima Kakak, masuk ke dalam hidupnya."

Senyum pahit Gadi jadi latar ucapannya. Pemandangan itu bikin hati Agisa berderit ngilu.

"Sayangnya. Beberapa malam lalu, perempuan itu usir Kakak  keluar dari hidupnya."

Laki-laki itu memijat buku-buku jari Agisa. Dalam setiap sentuh, ada kiriman permohonan dan bujukan. Senyap yang ia beri, tak mampu membuat wanita di depan melafas sepatah kata.

"Kalau apa yang kita jalani kemarin sudah rusak, mari mulai lagi. Dari scene paling awal, di tempat paling pertama."

Gelengan disertai tawa getir. "Gisa mau tamatkan saja."

***

Tujuh puluh menit yang menyunyi. Berdenyut maju. Manusia berganti, namun Agisa dan Gadi terpekur, tak berani mengambil langkah. Kalimat terakhir tadi ... terlalu bahaya untuk dikulik lebih jauh.

Gadi terutama. Betapa takut ia menanggapi. Tak mau kalimat itu berestafet menjadi keputusan yang tak dia inginkan.

"Dari mana Gisa belajar mengucap hal seberat itu? Tanpa rasa sakit? Tanpa ragu sedikit pun? Sedangkan Kakak, jadi pihak yang mendengar pun rasanya nyaris sekarat. Sakit dan ketakutan."

Tanya itu tanpa sahut. Tertelan hiruk-pikuk sekeliling. 

"Kakak nggak akan pergi. Satu langkah pun dari Gisa."

Jika skenario favorit Agisa adalah melepas Gadi, lelaki itu minta maaf sebab dia akan merusak. Caranya: mengikat diri lebih kuat lagi. Sampai Agisa tak pernah sanggup melepas. Kehabisan ide, menyuarakan perpisahan.

"Itu karena Papa, kan?" Agisa melirih. "Karena takut Papa kecewa kalau kita pisah?"

Spontan dan sukses bikin kening Gadi bergelambur.

Decision!Where stories live. Discover now