Chapter 16

19.5K 3.1K 322
                                    

Pulang. Yas!

Tiga hari di Pontianak, Agisa kangen berat. Seumur pernikahan, ini durasi terlama berpisah dengan Gadi. Kadang, Agisa bingung, dari mana pasangan LDR di luar sana mendapatkan kekuatan menahan rindu? Jujur, Gisa sendiri tidak kuat. Kehadiran Gadi melenyapkan sisi mandirinya. Ketergantungan akut. Tak bisa Agisa bayangkan. Bagaimana jika—amit-amit—Gadi hengkang dari hidupnya? Agisa bisa jadi sampan tanpa pengayuh.

“Nanti, pakai sweater-nya biar nggak dingin.”

“Iya.”

“Jam dua, Kakak otw ke bandara.”

“Yeaay! Nggak sabar ketemu! Pengin peluk Kakak!”

“Iya. Sampai ketemu, Sayang.”

“Bye. Sayang Kakak!”

“Sayang Gisa juga. Safe flight!”

Sembilan puluh menit perjalanan udara tak membuat Agisa lelah. Usai mengurus beberapa hal, dia beranjak ke ruang tunggu, tidak sabar bertemu Gadi. Menemukan sosok suaminya, senyum di bibir Gisa menyurut perlahan. Gadi sedang bermain dengan Rio. Tak sadar  kehadiran Gisa. Tidak jauh dari mereka, duduk Daniyah dan Nana, kedua perempuan itu tertawa menikmati suguhan view di depan.

“Tuh, Gad, boneka Marsha-mu sudah sampai.” Daniyah lebih dulu menyadari kehadiran menantunya.

Langkah itu melambat. Agisa kehilangan semangat. Bahkan senyum Gadi pun tak mampu mengusir jengkel di hati. Dekat, laki-laki itu ingin mengambil alih koper tapi Agisa mengabaikanya; memilih untuk menyapa ibu Daniyah.

“Gimana perjalanannya?” tanya Daniyah.

“Kalau nggak aman, Gisa nggak mungkin sampai di sini, Bu.”

“Hush! Kamu tuh!”

Agisa terkekeh, lalu basa-basi tersenyum ke Nana. “Ayo Rio! Kita ke mobil.”

Tak digubris, Gadi menyungging senyum. Langkah dipercepat menyamai Agisa. Jelas sekali istrinya itu tak mau menatapnya, hanya pura-pura fokus ke Rio.

“Nggak perlu. Gisa bisa sendiri.” Tepis Agisa ketika Gadi merangkul bahu dan bersikeras merebut koper. Laki-laki itu tak pedulikan protesnya. “Ish, dibilangin nggak usah, ya nggak usah!”

Daniyah langsung memerintahkan Nana untuk membawa Rio. Dua wanita itu sengaja berjalan lebih dulu.

“Tuh, gara-gara Kakak, mereka jadi nggak enak sama kita!”

Tarikan napas pelan. “Kakak nyebelin, ya?” lelaki itu bertutur lembut. Sama sekali tak terganggu oleh bentakan Agisa. “Sepertinya Kakak perlu mandi air doa untuk lepas aura sial. Abisnya, tiap liat muka Kakak, Gisa marah-marah terus.”

“Bodo! Nggak lucu! Kakak sudah tua! Harusnya Kakak lebih peka dan tahu hal apa yang bikin aku kesal!”

Gadi terkekeh. Kali ini, dia paksa merangkul Agisa meski wanita itu agak berontak menjauhinya. “Kakak tahu. Maaf. Nggak ada maksud bikin Gisa cemburu.” Laki-laki itu jelaskan. Sebenarnya, dia ingin menjemput Agisa dan menghabiskan akhir pekan berdua saja, kangen-kangenan. Tapi Nana memberikan info bahwa hari ini Daniyah ulang tahun. Pada akhirnya Gadi mengubah skenario. Siang ini, dia ingin mengajak ibunya lunch, sekadar merayakan ulang tahun kecil-kecilan.

“Jadi nggak mungkin, kan, Kakak nggak libatin Mbak Nana?”

Agisa terdiam. Sedikit merasa bersalah tapi cemburunya belum menyurut. “Apa-apa, Mbak Nana yang duluan! Ibu sakit, Mbak Nana yang ngasih tahu. Ibu ulang tahun pun Mbak Nana yang duluan ngucapin.”

Decision!Where stories live. Discover now