Chapter 15

18.3K 2.9K 231
                                    

Pendek. Tapi, penting. Ditinggu part selanjutnya.
Jangan darah tinggi ke Agisa, ya. Haha

***

Bergelung di bawah selimut yang sama, telanjang, dipeluk, adalah defenisi dicintai paling norak versi Agisa. Rasanya menakjubkan sekali, terjaga pukul 04.00 dini hari dan menemukan wajah tidur rekan pacuan kuda poninya terlelap damai.

Anehnya, dalam tidur pun insting melindungi Gadi selalu hidup. Buktinya, tangan lelaki itu berada di perut Gisa—fungsinya sebagai detektor gerakan. Lihat, saat Agisa pura-pura menciptakan gerak, laki-laki itu lantas terjaga, lalu mulai membenahi posisi selimut yang tersingkap.

Agisa menahan diri untuk tidak tertawa. Sempat-sempatnya wanita itu berpikir bahwa Gadi lebih cocok menjadi hansip di komplek perumahan rawan konflik sebab sikap siaganya patut diacungi jempol.

“Gisa mau packing. Kakak tidur lagi, gih! Masih ada setengah jam sebelum shalat subuh. Nanti, Gisa bangunin.”

Hari ini, Agisa dan Ibu Padma—Manajer Keungan di kantor akan berangkat ke Pontianak. Mereka mengikuti penerbangan pertama nanti pukul 06.00. Perjalanan ke bandara butuh 45 menit, tentu saja Agisa tak punya waktu banyak.

“Nggak apa-apa. Lebih baik Kakak mandi dulu.”

Berbeda dengan istrinya yang tak risih berlenggang polos sambil mencari kimono, Gadi nampak enggan menunjukan ketelanjangan. Agisa dibuat tertawa oleh aksi malu-malu lelaki itu.

“Kakak, ih! Gisa udah liat, sentuh, ngerasain semuanya! Tadi malam kita bahkan—” Tak jadi menyelesaikan kalimat, Agisa tersadar akan sesuatu, wanita itu meremas rambut lalu mengumpat cukup keras.

Sambil memakai baju, Gadi bertanya bingung, “Kenapa?”

“Oh, Tuhan, Gisa mati!” seru perempuan itu, panik. Matanya berkeliling mencari ponsel. “Gisa lupa minum pil tadi malam!”

Step pertama: telepon Zoya!

Kakaknya iparnya available jam segini. Begitu terhubung, Agisa sampaikan masalahnya dalam satu napas. Sayang, tanggapan perempuan itu berbanding terbalik, dengan santainya dia meminta agar Agisa mulai persiapkan diri untuk kehamilan. Siap bikin anak, siap jadi ibu.

“Enggak lucu, Mbak Zoya! Gisa nggak suka dicandai saat lagi serius!” Penuh emosi dia matikan hubungan telepon. Saat Zoya balik menghubungi, Agisa me-reject panggilan.

“Agisa.” Mendekat, Gadi sentuh pundak Agisa, coba menransfer ketenangan. “Ini masalah sepele, nggak perlu terlalu panik apalagi sampai bentak orang kayak gitu. Nggak bagus.”

Nasihat penuh kelembutan yang biasanya ampuh menurunkan emosi, kini berubah jadi pemantik amarah. Terbaca jelas di raut Agisa. “Sepele?” tiru wanita itu, bengis. “Hamil? Punya anak? Sekarang? Kakak pikir itu sepele!?”

“Iya. Lalu masalahnya di mana? Kita menikah, Agisa. ”  

“Kakak kenapa nggak mau ngerti? Sudah Gisa bilang, Gisa nggak mau hamil dalam waktu dekat ini. Bagaimanapun caranya, pembuahan nggak boleh terjadi!”

“Alasannya hanya karena belum bulan madu?”

Agisa jengkel bukan main. Gadi tidak bisa memahami situasinya. Meski nada bicara lelaki itu sangat pelan, tapi ini pertama kali Agisa merasa didebat. Dia mengunci diri di kamar mandi lalu mulai menangis putus asa di sana.


***

Ragadi berdiri di depan pintu kamar mandi. Tidak tahu harus berbuat apa. Hanya mendengar suara isakan dan kalimat-kalimat tidak menyenangkan di dalam sana.

Tidak mau ke bandara.

Mengutuki kejadian semalam.

Terus bertanya bagaimana jika dirinya hamil?

Seruan yang sama terulang di tiga puluh menit itu. Gadi sampai mengabaikan salat subuh, lalu mulai cari cara untuk menenangkan Agisa.

Morning-after pill.

Gadi temukan artikel dengan judul itu di mesin pencari, membacanya lebih detail. Dijelaskan bahwa pill kontrasepsi darurat itu fungsinya ‘mengganggu’ proses pembuahan pada hubungan seks yang telanjur terjadi tanpa pengaman.

Gadi ingat, Nana pernah membahas topik ini dengan Daniyah. Karena takut hamil di saat rumah tangganya tidak beres, tapi terlanjur melayani suaminya, perempuan itu lantas mengkonsumsi pil darurat untuk pencegahan.

Tak tunggu lama, Gadi menghubungi Nana. Setelah dua kali percobaan, telepon terhubung. Tanpa basa-basi Gadi bertanya di mana dia bisa mendapatkan pil yang sama.

“Itu nggak dijual sembarangan. Tapi, temenku punya apotek. Mungkin dia bisa bantu. Kamu butuh kapan?”

“Kalau tidak merepotkan, aku butuh sekarang.”

Okay, aku coba hubungi dia dulu.”

“Makasih, Na. Maaf sekali bangunin pagi-pagi.”

“Santai, Gad. Aku juga baru selesai subuhan kok.”

***

Kamar sepi saat Agisa keluar. Jendela sudah terbuka, memampang sinar matahari, itu artinya Agisa terlambat ke bandara. Dia tak ingin memeriksa ponsel karena tahu Mbak Padma pasti mencecarnya.

Persetan dengan urusan pekerjaan! Ada yang lebih penting yaitu, bagaimana caranya menghilangkan sisa-sisa Ragadi dalam tubuhnya. Hamil adalah momok menakutkan bagi Agisa. Sungguh dia belum bisa—untuk sekarang, dan entah sampai kapan.

Pintu terbuka.

Agisa naik ke tempat tidur. Tidak ingin bicara dengan Gadi. Dia tidak yakin bisa beramah-tamah dengan lelaki itu sementara yang ingin dia lakukan adalah berteriak menyalahkan suaminya.

Tempat tidur di sisi Agisa bergerak. Dia malah memejam kuat.

“Maaf, gara-gara Kakak, Gisa kejebak dalam situasi sulit kayak gini.”

“Ya! Harusnya Kakak nggak ngajakin berhubungan sebelum pastiin keamanan kita!” balas Agisa dalam suara tercekat antara ingin menangis sekaligus kasihan pada Gadi.

“Ya. Kakak yang salah. Nggak hati-hati.”

“Lalu? Kakak pikir itu bisa nyelesain masalah?” Mata berkolam Agisa menyorot Gadi penuh kebencian.

Dus obat Gadi keluarkan dari saku. Lalu menjelaskan bahwa pil itu adalah kontrasepsi darurat. Bisa mengurangi risiko kehamilan hingga 80-90%. Wajah putus asa Agisa berangsur-angsur pulih. Ditatapnya Gadi. Kini, ada harapan di matanya.

“Apa pembuahan bisa gagal karena ini?”

“Iya.”

“Berarti Gisa nggak akan hamil?”

Beberapa saat Gadi terdiam. Dia coba untuk tersenyum meski terlihat payah. “Iya. Kemungkinan Gisa belum akan hamil.”

Agisa kedapatan superbahagia—begitu kontras dengan reaksi Gadi. Belum sempat menghadiahi satu pelukan, laki-laki itu sudah bangkit minta ijin untuk mengambil air mineral. Terlalu senang, Agisa tak pedulikan perubahan itu sampai Gadi kembali. Memberitahukan soal aturan minum.

“Jadi nanti, 24 jam kemudian baru minum pil yang satunya lagi?”

Anggukan. Kini, Gadi sudah bisa tertular senyum Agisa. Diusapnya pipi wanita itu. Betapa lega mendapatinya kembali riang. “Kakak sudah cari penerbangan selanjutnya ke Pontianak. Jam 10 nanti. Jadi, Gisa siap-siap, Kakak bantu pack barang-barangnya.”

“Makasih.” Pelukan. “Makasih karena udah mau ngertiin Gisa.”

“Selama Gisa bahagia, Kakak tetap akan bilang ... ya.”

Suara itu bernada sama. Namun, tidak semeyakinkan dulu....




Decision!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang