Chapter 21

29K 4.1K 1K
                                    

Kejadian itu tepat bertahun-tahun lalu.

Sudah banyak cerita indah yang berganti. Namun, detil hitam itu masih tersimpan dengan rapi. Dan hari ini... terkuak kembali.

Semua cepat berlalu sejak peristiwa naas di pesta kelulusan Raypaskal. Tiga minggu setelahnya, Agisa mulai menunjukan tanda-tanda aneh. Raypaskal—di minggu-minggu terakhir sebelum berangkat ke Australia untuk kuliah—melihat perubahan itu pada Agisa. Meski ketakutan, dia saarankan untuk lakukan tes.

Agisa masih ingat pagi itu. Dengan tangan bergetar, dia pegang benda penyulap masa remaja terindah menjadi kelam. Dua garis merah di sana tak lantas membuatnya paham bahwa di perutnya bersemayam nyawa baru. Dia sibuk mencaritahu. Raypaskal pun demikian. Ketika mendapatkan kesimpulan finalnya, mereka begitu bingung dan takut. Dalam gigil, keduanya berpelukan, menangis putus asa di apartemen Agisa.

Malam harinya, Raypaskal datang membawa Lisya. Sewaktu diberi kabar via telepon, wanita itu langsung bertolak ke Singapore dengan penerbangan terakhir. Agisa sempat khawatir. Namun, pelukan Lisya menepis segalanya. Wanita itu tidak menghakimi. Sangat paham situasi bahwa apa yang dilakukan Agisa dan Paskal adalah murni kecelakaan.

Tapi, Agisa tahu, penerimaan Lisya adalah satu-satunya keberuntungan mereka. Keesokan hari, dia mendengar sesuatu yang menyakitkan. Raypaskal dan Lisya sedang menghubungi seseorang di telepon—yang belakangan baru Agisa tahu adalah Priyanto—papanya Paskal. Kalimat terakhir Agisa dengar adalah:

"Paskal masih muda. Agisa juga. Membiarkan anak itu lahir, sama saja hancurkan masa depan mereka. Pilihan satu-satunya adalah: gugurkan!"

Itu... hal paling menyeramkan yang Agisa dengar selama 16tahun hidupnya.

Ketakutan, dia mengunci diri di kamar lalu mengirim kabar pada Namira dan Bara agar menyetop kunjungan dua minggu sekali itu. Sebab, ada orangtua temannya yang datang berobat dan menginap sementara. Beruntung, Bara percaya setelah mengonfirmasi kehadiran Lisya lewat panggilan video.

Berhari-hari Agisa diam di kamar. Depresi. Makanan yang diberikan Lisya pun tak bisa masuk ke perut. Hanya hilangkan dehidrasi dengan air.

Agisa masih merasakan keterpurukan itu. Malam-malam panjang di apartemen. Ketakutan. Merasa berdosa. Jijik. Hingga demam berhari-hari.  Puncaknya, ketika Agisa mendapati darah di celana dalam. Sebagian  mengotori paha dalam, sebagiannya lagi menggumpal seperti daging, lalu keluar bersama air seni. Merembes ke paha, dan jatuh ke lantai kamar mandi. Dia pingsan. Dan bangun hanya untuk mendapati dirinya di ruangan serbaputih. Bersama Lisya dan Raypaskal yang menangis.

Pengaruh hormonal membuat janin tidak berkembang. Agisa kehilangan calon anaknya jauh sebelum rencana 'pembunuhan' itu dilaksanakan. Entah harus menyesal atau bersyukur. Mungkin ada benarnya, Tuhan mencabut kesempatannya menjadi seorang ibu. Karena dia belum siap. Dan situasinya tidak tepat.

Lisya, begitu telaten mengurus Agisa. Perempuan itu ada di malam-malam panjang sewaktu Agisa memulihkan diri. Perempuan itu jualah yang menangis tersedu-sedu sewaktu Agisa mengambil keputusan untuk saling lupa.

Tepat di hari keberangkatan Raypaskal, lelaki itu menawarkan masa depan untuk mereka. Sebuah hubungan yang lebih dari teman-main-kecelakaan. Namun, Agisa menolaknya.

Hatinya bukan untuk Paskal sekalipun dia tahu lelaki itu mencintainya sejak SMP. Dia tidak mempunyai rasa yang sama walaupun pernah beberapa hari mengandung benih lelaki itu. Tidak bisa. Dari awal mereka hanya teman. Kecelakaan itu di luar kendali. Tidak pakai rasa. Itu sebabnya mereka tidak mungkin beranjak dari title hubungan yang sama.

Dan akan seperti itu selamanya.

"Mama harap, kalian dipertemukan lagi di usia dewasa. Coba sambung lagi sesuatu yang hilang. Sebab, kalian punya satu hal yang harus dikenangi bersama."

Decision!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang