Chapter 14

20.1K 3.1K 245
                                    

Sejujurnya cerita ini akan cepat tamat. Ha ha. Kalian yang tertarik baca, gue saranin jangan lewatkan apdetannya. Jangan mengulur waktu baca. Karena gue nggak akan lama-lama ngepost ini. Pas tamat, langsung hapus.
Pengumuman di awal biar ancang2. wkwk


***

Seperti anak kecil yang menangis di loteng kamar, lalu tertidur karena kelelahan. Agisa pun demikan. Letih memaksakanya menyetop babak kacau. Pancuran air mata perlahan mengemarau.

Wajah Agisa bak Zombie-versi menggemaskan. Bangun pagi, Pak Sugi dan Ibu Risa, penjaga vila, menyediakan sarapan a'la American: puncake minus sirup maple. Sebagai ganti, mereka mengaplikasikan dengan sirup lokal yang iklannya sering muncul ketika Ramadhan. Tentu saja Agisa terhibur. Merasa begitu terberkati. Tuhan tak pernah totalitas menyiksa. Air mata dan tawa Ia ciptakan sebagai kembar siam; datang bersamaan.

Lokasi vila tempat Agisa 'kabur' sangat luas. Ada kolam pemancingan, dan lahan bertani. Usai sarapan, Agisa berkeliling. Sekadar memanjakan mata. Hijau memang komposisi relaksasi terbaik--sesuatu yang Gisa butuhkan. Beberapa helai daun mint dia petik dari kebun. Agisa sempat berhenti lama mengagumi deretan tambulampot. Ingin memotret, tapi ponsel yang sudah di-silent tak henti-hentinya memampang nama Gadi.

Ragadi.

Sebenarnya Agisa tak tega. Mata memohon Gadi adalah sesuatu yang paling tidak bisa Gisa abaikan. Dia selalu merasa jahat bila mulai bertingkah menyebalkan di depan lelaki itu. Namun kali ini, Agisa akui dia sakit hati. Dibiarkan suaminya menghubungi sampai tolol. Mungkin, jika Agisa tak pulang sampai besok, laki-laki itu akan datang pada Bara, melapor, lalu minta dipenggal kejantanan karena bikin Agisa kabur.

"Non, ini minum dulu." Pak Sugi datang memberikan sebotol jus buah naga.

"Ya, ampun. Bapak. Padahal Gisa nggak minta. Kenapa repot-repot?"

Lelaki itu terkekeh. Mereka diinterupsi oleh Ibu Risa yang datang membawa sepiring penuh potongan buah-buahan.

"Disuruh nunggu, malah ninggalin!" Ibu Risa merajuk pada suaminya.

"Maaf, Sayang. Bapak takut Non Gisa kehausan jadi pergi duluan."

"Ya sudah. Nanti, temenin Ibu masak brekpest, ya, buat Non Gisa?"

"Hush! Brekpest itu makan malem. Kalau makan siang namanya lanch."

"Oalah. Bukan Lanchita Luna kan, Pak?"

"He he ibu lucu. Ayo ke dapur. Temenin tidur belasan tahun ini saja Bapak nggak keberatan, apalagi temenin masak."

Usai kepergian mereka, Agisa tertawa. Bukan rahasia lagi, sepasang suami istri ini memang memiliki perbedaan usia yang cukup jauh. Dengar-dengar, sewaktu menikah, Ibu Risa berumur 16 tahun sementara Pak Sugi 36 tahun. Tapi, dalam kacamata Gisa, semuanya terlihat begitu wajar. Saling melengkapi.

Agisa tahu, di dunia ini ada dua jenis pandangan terhadap segala sesuatu. Dia jadi penasaran, atas alasan apa orang-orang berkomentar kontra terhadap 'kepantasan' seseorang untuk orang lain? Seperti Daniyah kemarin?

***

Berangkat dari pemikirannya, siang itu Agisa isi dengan menonton refleksi di kaca. Dia harus waras. Mesti logis menilai diri sendiri.

Komentar Daniyah kemarin tak menjelekkan. Hanya saja, bermuat pengakuan bahwa Nana lebih layak untuk Gadi. Jelas Agisa sakit hati. Pernyataan itu seperti sound pollution: bising di kepala. Mengusik nyenyak tidur Agisa.

Diamatinya cermin, ada gadis 22 tahun. Rambut cokelat terang terurai sebahu. Bibir mungil bermerah muda alami. Hidung kecil yang merona pada pucuk. Tulang pipi tinggi, garis rahang pas, meski ada black circle, namun keramahan di mata tak redup. Wajah yang sempurna! Dibungkus dengan kepribadian baik. Bukankah itu poin bagus yang membuat Nana kalah telak darinya?

Decision!Onde as histórias ganham vida. Descobre agora